Renungan Ekonomi - "Neo-liberal dan Kejahatan Multilateral"
NEO-LIBERAL DAN KEJAHATAN MULTILATERAL
Oleh : Moh. Mujib Zunun @lmisri
Untuk memahami Globalisasi dan mekanisme dunia sekarang, orang perlu
memahami Neo-Liberalisme. Inilah ideologi mutakhir kapitalisme yang saat ini
sedang jaya-jayanya, terutama slogan TINA (There is No Alternatives) dari mulut
Margaret Thatcher. Semenjak 1970-an hingga kini, Neo-Liberalisme mulai
menanjak naik menjadi kebijakan dan praktek negara-negara kapitalis maju, dan
didukung oleh pilar-pilar badan dunia: Bank Dunia, IMF dan WTO. Neo-Liberal
tidak lain adalah antitesa welfare state, antitesa neo-klasik, dan antitesa
Keynesian. Dengan kata lain antitesa kaum liberal sendiri, yaitu Liberal Baru atau
kaum Kanan Baru (New-Rightist).
Dengan memahami Neo-Liberal, maka kita dapat memahami berbagai sepak
terjang badan-badan multilateral dunia; kita dapat memahami perubahan
kebijakan domestik di negara-negara maju; kita dapat memahami mengapa terjadi
krisis moneter dan ekonomi yang tidak berkesudahan; kita dapat memahami
mengapa Indonesia didikte dan ditekan terus oleh IMF; kita dapat memahami
mengapa Rupiah tidak pernah stabil; kita dapat memahami mengapa BUMN
didorong untuk di-privatisasi; kita dapat memahami mengapa listrik, air, BBM,
dan pajak naik; kita dapat memahami mengapa impor beras dan bahan pangan
lain masuk deras ke Indonesia; kita dapat memahami mengapa ada BPPN, Paris
Club, Debt Rescheduling dan lain-lain; dan banyak lagi soal-soal yang
membingungkan dan memperdayai publik.
Nama dari program Neo-Liberal yang terkenal dan dipraktekkan dimana-mana
adalah SAP (Structural Adjustment Program). Program penyesuaian struktural
merupakan program utama dari Bank Dunia dan IMF, termasuk juga WTO
dengan nama lain. WTO memakai istilah-istilah seperti fast-track, progressive
liberalization, harmonization dan lain-lain. Intinya tetap sama. Di balik nama
sopan "penyesuaian struktural", adalah "penghancuran dan pendobrakan radikal"
terhadap struktur dan sistem l