Guratcipta
1 of 29
TEATER SEGALA YANG MUNGKIN
Dari Multikulturalisme hingga Kemenduaan Teater Indonesia
Radhar Panca Dahana
Lebih dua dekade belakangan ini, diskusi teater --juga wacana-wacana
intelektual lainnya-- di berbagai belahan dunia, dihangatkan oleh pembicaraan
mengenai multikulturalisme, sebagai cara berpikir, modus kerja atau kreatif. Namun,
apa yang kemudian muncul dan dihasilkan dalam perbincangan ramai itu? Sebagian
orang, entah pengamat, praktisi, atau akademisi, menyatakan hanya kesimpangsiuran
yang kita dapat. Sebagian lain mengatakan perbincangan itu hanyalah kegenitan
intelektual yang tak berhasil menyentuh problem praktis dan keseharian dari kerja
teater itu sendiri. Erika Fischer-Lichte dengan gamang mempersoalkan "kegenitan"
itu, karena belum bisa membuahkan satu skema berpikir yang adekuat, dan
menurutnya, "terlalu tergesa untuk mengajukan sebuah teori global tentang
interkulturalisme teater"1. Sementara Patrice Pavis memandang perbincangan ramai
1 Fischer-Lichte, Erika, et al (eds), The Dramatic Touch of Difference: Theatre, Our and Foreign, T ater Naar Verlag,
1990, hal. 284.
Guratcipta
2 of 29
ini belum juga berhasil menemukan identitas masalahnya yang tegas. Yang terjadi
adalah perdebatan sumir yang "tinggal sebagai pucuk dari gunung es" 2.
Namun, apa pun yang terjadi dan dikomentari dari perbincangan tentang
masalah ini, baik kita mengetahui lebih dahulu dari mana dan apa sebab muasal dari
istilah multikulturalisme dan interkulturalisme teater ini. Sebuah awal yang kerap
dilupakan, sehingga kerap pula kesimpangsiuran terjadi. Dalam catatan penulis, istilah
ini diperkenalkan pertama kali, secara praktis dan akademis oleh Richard Sehechner
alias Jayaganesh, Yahudi-Amerika yang beralih Hindu pada 1976, praktisi dan pemikir
teater modern, dalam sebuah tullisannya di The Drama Review, berkala bergengsi yang
ia dirikan dan pimpin 3.
Dalam wawancaranya dengan Pavis, Schechner