ETIK PENELITIAN KESEHATAN
1. Pendahuluan
Kode etik penelitian kedokteran, yang diberi nama Nuremberg Code, pada awalnya
dibentuk sebagai akibat dari berbagai percobaan tidak berperikemanusiaan oleh para dokter
NAZI terhadap para tahanan Perang Dunia II. Salah satu yang penting dalam kode tersebut
adalah keharusan adanya persetujuan informed consent dari orang sebagai subyek
penelitian.
Pada tahun 1964, World Medical Association dalam sidangnya yang ke 18 telah
mengeluarkan peraturan-peraturan yang dituangkan ke dalam Deklarasi Helsinki I. Baik
dalam Neurenberg Code maupun dalam Deklarasi Helsinki I, para peneliti dihimbau untuk
memperhatikan dan mematuhi peraturan-peraturan penelitian yang disetujui bersama.
Peneliti harus dapat membuat keputusan sendiri apakah penelitiannya menyimpang atau
tidak dari norma etik yang telah digariskan. Karena tidak ada pengawasan maka banyak
penelitian yang dirasakan masih menyimpang dari norma-norma kode etik. Untuk
menghindari hal tersebut di atas maka pada tahun 1975 dalam World Health Assembly ke
20 di Tokyo telah dibuat Deklarasi Helsinki II sebagai hasil revisi dari Deklarasi Helsinki I.
Perubahan yang penting adalah adanya peraturan yang mengharuskan semua protokol
penelitian yang menyangkut manusia, harus ditinjau dahulu oleh suatu Komisi khusus
untuk dipertimbangkan, diberi komentar dan mendapatkan pengarahan (consideration,
comments and guidance). Selain itu pada protokol juga harus dicantumkan adanya
pertimbangan etik. Deklarasi tersebut telah disempurnakan kembali oleh World Medical
Assembly, tahun 1983 di Venesia, tahun 1985 di Hongkong dan di Edinburg, Scotland
tahun 2000
Di Indonesia standar etik penelitian kesehatan yang melibatkan manusia sebagai
subyek didasarkan pada azas perikemanusiaan yang merupakan salah satu dasar falsafah
bangsa Indonesia, Pancasila. Hal tersebut kemudian diatur dalam UU Kesehatan no 23/
1992 dan lebih lanjut diatur dalam PP no 39/ 1995 tentang Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan. Dalam Bab IV diura