Loading ...
Global Do...
News & Politics
7
0
Try Now
Log In
Pricing
Majalah e-Indonesia - Media ICT Wahana Merajut Nusantara Artikel Detiknas Edisi No.17 / 5 Oleh: Anis Fuad Lulusan Program Master Informatika Kedokteran dari Universite Pierreet-Marie-Curie (Paris VI), Staf pengajar Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran UGM. Menggagas Kebijakan Nasional TIK untuk Kesehatan ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Pada pertengahan November yang lalu, Presiden SBY meresmikan Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (DTIKN) yang berperan untuk membuat kebijakan strategis tentang pengembangan dan penerapan teknologi informasi dan komunikasi. Lembaga ini menghimpun pakar, kalangan profesional, maupun dari perwakilan dari daerah. Lembaga ini pun tidak tanggung-tanggung didukung oleh 12 menteri yaitu Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Perdagangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, Menteri Negara Riset dan Teknologi, dan Sekretaris Kabinet. Suatu langkah maju meskipun tentu saja ada yang mempermasalahkan. Misalnya tentang keraguan efektivitas lembaga serta duplikasi dengan departemen yang ada (Depkominfo). Selain itu, ada pertanyaan penting lain, mengapa tidak ada menteri kesehatan dalam lembaga tersebut? Apakah karena kesehatan tidak memiliki kepentingan dalam pengembangan TIK? Atau karena kelalaian redaksional semata sehingga tidak sempat dimasukkan? Apapun alasannya, boleh jadi ini merupakan pertanda bahwa negara kita tidak memiliki kebijakan nasional mengenai TIK di sektor kesehatan. Kalaupun ada, kebijakan tersebut mungkin hanya bersifat intern untuk Departemen Kesehatan, tidak terkait dengan sektor lain di dalam maupun di luar pemerintahan. Sehingga orang akan meragukan apakah kebijakan tersebut mampu memberi manfaat kepada masyarakat luas, khususnya dalam mendorong upaya peningkatan status kesehatan masyarakat. Kebijakan telat Empat tahun lalu, 2002, pernah diterbitkan Keputusan Menteri No. 551 mengenai Kebijakan Pengembangan Sistem Informasi Kesehatan Nasional dan Sistem Informasi Kesehatan Daerah. Namun, dokumen tersebut belum menjelaskan secara rinci peran dan fungsi teknologi informasi di sektor kesehatan. Di sisi lain, perkembangan teknologi informasi begitu cepatnya, sehingga regulasi sering kali tertatih-tatih dan tidak mampu mengejar. Hal ini terjadi pada salah-satu provinsi yang mendapatkan bantuan dari Bank Dunia untuk pengembangan sistem informasi kesehatan. Begitu proyek akan berakhir, ternyata reaksi dinas kesehatan kabupaten/kota beragam. Puskesmas yang ada di salah-satu kabupaten menolak software baru tersebut karena mereka sudah nyaman dengan software pencatatan dan pelaporan penyakit yang sudah diterapkan sejak beberapa tahun sebelumnya. Ini merupakan contoh klasik bahwa TIK hanya sekadar pengadaan perangkat keras, perangkat lunak, maupun instalasi infrastruktur komunikasi. Aspek yang soft dalam TIK seperti interoperabilitas dan standardisasi hanya sekadar wacana. Padahal di situlah salah-satu peran pemerintah (baca: Depkes) untuk mewujudkan sistem tukar menukar data yang lebih efektif dan efisien antar berbagai fasilitas pelayanan kesehatan. Standardisasi kode (gejala, prosedur/tindakan medis, obat, alat medis, hasil pemeriksaan laboratorium, data medis multimedia, dan sebagainya), identifier unik (pasien, dokter, fasilitas kesehatan, wilayah), serta mekanisme pertukaran data sangat diperlukan oleh semua pihak yang terlibat dalam pengembangan sistem informasi kesehatan. Jangan sampai terulang kembali kejadian di suatu rumah sakit yang kelabakan karena bekerja sama dengan dua vendor sistem informasi rumah sakit yang tidak interoperabel satu sama lain. Cepat berkembang dan usang Di sisi lain, TIK sangat pesat berkembang. Iklan produk perangkat keras yang semakin ringkas, ringan, berfasilitas multimedia serta selalu terkoneksi ke dalam jaringan terus bermunculan. Teknologi dan metode pengumpulan, pengolahan, pengiriman, analisis serta visualisasi data/informasi juga terus-menerus terbarui. Fenomena ini menyebabkan TIK juga cepat menjadi usang. Di sinilah pentingnya pembuatan kebijakan yang terus menerus mengikuti perkembangan teknologi tetapi juga melindungi kepentingan masyarakat serta provider kesehatan dengan memperhatikan kaidah-kaidah etika, kerahasiaan, privasi, serta keamanan informasi kesehatan. Sebagai contoh, operator telepon seluler telah meluncurkan 3G yang potensial digunakan untuk praktek kedokteran jarak jauh (telemedicine). UU Praktek Kedokteran tidak mengatur mengenai hal tersebut. Jika dokter menggunakan media tersebut dan salah memberikan diagnosis dan terapi, siapa yang bertanggung jawab? Dokternya, perangkat telepon seluler, atau operator? Terkait dengan biaya konsultasi telemedicine, tanggung jawab pembiayaan pada dokter, pasien, atau asuransi? Padahal telemedicine merupakan salah-satu alternatif mengatasi maldistribusi dokter spesialis (yang lebih memilih hidup di kota besar). Sertifikasi dan insentif Masih banyak rumah sakit dan puskesmas yang belum mengunakan komputer. Akan tetapi, cepat atau lambat, mereka akan mengadopsi-nya. Menggunakan sistem berbasis komputer untuk billing systems sebenarnya relatif sederhana Detiknas Edisi 17/5 http://www.majalaheindonesia.com/detiknas-ed17_5.htm 1 dari 2 10/07/2009 15:33 dibandingkan sistem informasi untuk mendukung manajemen klinis. Salah memasukkan tarif, risikonya rumah sakit rugi. Software untuk manajemen klinis yang didesain secara sembrono dapat menyebabkan kecacatan bahkan kematian. Software pun harus memenuhi standar perlindungan keamanan, kerahasiaan serta privacy data medis pasien. Sehingga, di negara maju ada inisiatif sertifikasi bagi software yang akan digunakan di rumah sakit. Berbagai bukti di negara maju telah menunjukkan keberhasilan TIK dalam menunjang pelayanan kesehatan yang lebih efektif, efisien, sekaligus menjamin keselamatan pasien (patient safety). Tetapi, jangan dilupakan bahwa mereka memberikan insentif dan kemudahan bagi sektor kesehatan untuk melakukan inovasi TIK baik dalam riset maupun implementasi. Dengan demikian, kebijakan TIK untuk kesehatan perlu mengatur sektor pemerintah (fasilitas kesehatan, jajaran departemen, sampai ke dinas kesehatan kabupaten/kota), swasta (fasilitas kesehatan dan vendor software), lembaga pendidikan dan penelitian serta masyarakat pada umumnya. Jika tidak ada kebijakan yang jelas, janganjangan sektor kesehatan akan menjadi kuburan berikutnya kegagalan penerapan teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia. ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Ke atas l Kembali Detiknas Edisi 17/5 http://www.majalaheindonesia.com/detiknas-ed17_5.htm 2 dari 2 10/07/2009 15:33