Loading ...
Global Do...
News & Politics
70
0
Try Now
Log In
Pricing
<p>T.A. Soetiarso: Teknologi Inovatif Bawang Merah dan Pengembangannya TEKNOLOGI INOVATIF BAWANG MERAH DAN PENGEMBANGANNYA Thomas Agoes Soetiarso Balai Penelitian Tanaman Sayuran ABSTRAK Bawang merah merupakan komoditas sayuran yang termasuk ke dalam kelompok rempah tidak bersubstitusi dan berfungsi sebagai bumbu penyedap makanan serta bahan obat tradisional. Nilai ekonominya yang tinggi, penyebaran budidaya yang cukup luas dan minat petani yang besar terhadap komoditas bawang merah terutama disebabkan oleh daya adaptasinya yang luas. Konsumsi rata-rata bawang merah pada tahun 2004 adalah 4,56 kg/kapita/tahun atau 0,38 kg/kapita/bulan. Menjelang hari raya terjadi kenaikan konsumsi sebesar 1020 %. Meskipun minat petani terhadap bawang merah cukup kuat, namun dalam proses pengusahaannya masih ditemui berbagai kendala, baik kendala yang bersifat teknis maupun ekonomis. Kendala-kendala tersebut diantaranya adalah: (1) ketersediaan benih bermutu belum mencukupi secara tepat (waktu, jumlah, dan mutu); (2) penerapan teknik budidaya yang baik dan benar belum dilakukan secara optimal; (3) sarana dan prasarana masih terbatas; (4) kelembagaan usaha di tingkat petani belum dapat menjadi pendukung usaha budidaya; (5) skala usaha relatif masih kecil akibat sempitnya kepemilikan lahan dan lemahnya permodalan; (6) produktivitas cenderung mengalami penurunan; (7) harga cenderung berfluktuasi dan posisi tawar petani yang lemah; serta (8) serangan OPT semakin bertambah. Oleh karena itu, perlu segera dipenuhi kebutuhan teknologi inovatif khususnya termasuk bawang merah yang mampu meningkatkan produktivitas lahan dan konservasi agroekosistemnya. Disamping itu, melalui pemasyarakatan teknologi inovatif yang efektif, diharapkan akan dapat mempercepat program alih teknologi yang pada akhirnya dapat mendorong peningkatan pendapatan petani serta percepatan pertumbuhan ekonomi wilayah. Kata kunci : Bawang merah, teknologi inovatif. PENDAHULUAN Bawang merah merupakan komoditas sayuran yang termasuk ke dalam kelompok rempah tidak bersubstitusi dan berfungsi sebagai bumbu penyedap makanan serta bahan obat tradisional. Nilai ekonominya yang tinggi menyebabkan pengusahaan komoditas bawang merah telah menyebar di hampir semua provinsi di Indonesia (Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan, 1994). Penyebaran budidaya yang cukup luas dan minat petani yang besar terhadap komoditas bawang merah terutama disebabkan oleh daya adaptasinya yang luas, yaitu dapat ditanam dan tumbuh dengan baik mulai dari ketinggian 0 sampai 1000 meter di atas permukaan laut (Suwandi, 1989; Suwandi dan Hilman, 1995; Nurmalinda dan Suwandi, 1995). Disamping itu, komoditas ini juga merupakan sumber pendapatan dan kesempatan kerja yang memberikan kontribusi cukup tinggi terhadap perkembangan ekonomi wilayah (Rp. 2,7 triliun/tahun), dengan potensi pengembangan areal cukup luas mencapai 90.000 ha (Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura, 2005). Bawang merah dihasilkan di 24 provinsi di Indonesia. Penghasil utama (luas areal panen > 1 000 hektar per tahun) bawang merah adalah Sumatra Utara, Sumatra Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogya, Jawa Timur, Bali, NTB, dan Sulawesi Selatan. Keseluruhan provinsi ini menyumbang 95,8% (Jawa memberikan kontribusi 75%) dari produksi total bawang merah di Indonesia pada tahun 2003. Konsumsi rata-rata bawang merah pada tahun 2004 adalah 4,56 kg/kapita/tahun atau 0,38 kg/kapita/bulan. Menjelang hari raya keagamaan terjadi kenaikan konsumsi sebesar 1020 % (Dirjen Hortikultura, 2005). Meskipun minat petani terhadap bawang merah cukup kuat, namun dalam proses pengusahaannya masih ditemui berbagai kendala, baik kendala yang bersifat teknis maupun ekonomis. Kendala-kendala tersebut diantaranya adalah: (1) ketersediaan benih bermutu belum mencukupi secara tepat (waktu, jumlah, dan mutu); (2) penerapan teknik budidaya yang baik dan benar belum dilakukan secara optimal; (3) sarana dan prasarana masih terbatas; (4) kelembagaan usaha di tingkat petani belum dapat menjadi pendukung usaha budidaya; (5) skala usaha relatif masih kecil akibat sempitnya kepemilikan lahan dan lemahnya permodalan; (6) produktivitas cenderung mengalami penurunan; (7) harga cenderung berfluktuasi dan posisi tawar petani yang lemah; serta (8) serangan OPT semakin bertambah. 293 Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Inovasi Pertanian Lahan Marginal Akibat masih banyaknya kendala yang dihadapi petani dalam mengusahakan bawang merah tersebut, maka produktivitas yang dapat dicapai masih sangat rendah, yaitu hanya sekitar 7,6 t/ha, sementara potensi hasilnya dapat mencapai 20 t/ha. Berdasarkan data periode 1989-2000, rata-rata produksi dan luas panen bawang merah di Indonesia berturut-turut adalah 614.128,5 ton dan 79.819,42 ha/tahun (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura, 1999; Basuki et al., 2002). Dalam periode yang sama pola pertumbuhan produksi bawang merah di Indonesia juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Meskipun begitu, pertumbuhan rata-rata produksi bawang merah di Indonesia yang mencapai 7,75% lebih disebabkan oleh peningkatan luas panen daripada peningkatan produktivitas. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan luas panennya (3,83%) yang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan produktivitas (3,33%). Ketidakstabilan produksi bawang merah tersebut secara umum akan lebih dipengaruhi oleh keragaman luas panen dibandingkan dengan keragaman tingkat produktivitas. Mengacu pada kenyataan tersebut, terdapat indikasi bahwa program alih teknologi yang telah berjalan sampai saat ini belum dapat berjalan dengan baik. Teknologi-teknologi peningkatan produktivitas yang sudah banyak dihasilkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Badan Litbang Pertanian) umumnya dan Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) khususnya, mulai dari perbenihan, pemuliaan, kultur teknis, pengendalian hama penyakit, dan pasca panen belum mampu diadopsi oleh petani secara progresif. Selain faktor internal, seperti sikap petani yang cenderung kurang berani menanggung risiko terhadap perubahan, lambannya proses transfer teknologi juga disebabkan oleh faktor eksternal, seperti kurangnya dukungan infrastruktur (receiving maupun delivery system) dalam proses adopsi inovasi teknologi (Badan Litbang Pertanian, 2004). Hasil penelitian Mundy (dalam Simatupang, 2004) menyebutkan bahwa, diperlukan waktu sekitar 2 tahun sebelum teknologi baru dari Badan Litbang Pertanian dapat dipahami oleh 50% penyuluh pertanian spesialis (PPS), dan sekitar 6 tahun sebelum teknologi tersebut dapat dipahami oleh 80% PPS. Dengan sendirinya diperlukan waktu yang lebih lama lagi sebelum inovasi teknologi tersebut sampai dan dapat dipahami oleh petani. Berdasarkan indikasi tersebut, maka perlu segera dipenuhi kebutuhan teknologi inovatif (termasuk bawang merah) yang mampu meningkatkan produktivitas lahan dan konservasi agroekosistemnya. Disamping itu, melalui pemasyarakatan teknologi inovatif yang efektif, diharapkan akan dapat mempercepat program alih teknologi yang pada akhirnya dapat mendorong peningkatan pendapatan petani serta percepatan pertumbuhan ekonomi wilayah. SYARAT TUMBUH Iklim Tanaman bawang merah lebih senang tumbuh di daerah beriklim kering, peka terhadap curah hujan (intensitas hujan yang tinggi) dan cuaca berkabut. Tanaman ini membutuhkan penyinaran cahaya matahari yang maksimal (minimal 70%), suhu udara 25-32C dan kelembaban nisbi 50-70% (Sutarya dan Grubben, 1995; Nazarudin,1999). Meskipun tanaman bawang merah dapat membentuk umbi bila ditanam di daerah yang rata-rata suhu udaranya 22C, namun hasil umbinya tidak akan optimal seperti bila ditanam di daerah yang memiliki suhu udara yang lebih panas. Bawang merah akan membentuk umbi yang lebih besar bilamana ditanam di daerah dengan penyinaran lebih dari 12 jam (Currah and Proctor, 1990; Wibowo, 1991). Di bawah suhu 22C, tanaman bawang merah tidak akan berumbi. Oleh karena itu, tanaman bawang merah lebih menyukai tumbuh di dataran rendah dengan iklim yang cerah (Rismunandar, 1986). Ketinggian tempat yang optimal untuk pertumbuhan dan perkembangan bawang merah adalah 0-450 m di atas permukaan laut (Sutarya dan Grubben, 1995). Pada dataran tinggi, bawang merah masih dapat tumbuh dan berumbi, namun demikian umur tanamnya menjadi lebih panjang 0,5-1 bulan serta hasil umbinya lebih rendah. Ketinggian tempat mempunyai hubungan yang erat dengan suhu/temperatur udara, dimana pada setiap kenaikan ketinggian tempat sebesar 91,5 m di atas permukaan laut terjadi penurunan temperatur udara sebesar 0,6C (Javier, 1990). Suhu udara besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan hasil umbi bawang merah. Suhu udara dapat mempengaruhi semua aktivitas biologis tanaman dengan mengontrol reaksi-reaksi di dalam tanaman. Selain itu, suhu udara juga mempengaruhi pembungaan dan viabilitas polen, pembentukan umbi, 294 T.A. Soetiarso: Teknologi Inovatif Bawang Merah dan Pengembangannya keseimbangan hormonal, pematangan dan penuaan tanaman, kualitas dan hasil tanaman (Currah and Proctor, 1990; Hartmann et al., 1988) Tanah Tanaman bawang merah memerlukan tanah berstruktur remah, tekstur sedang sampai liat, drainase/aerasi baik dan tidak becek, mengandung bahan organik atau humusyang cukup, dan reaksi tanah tidak masam (pH tanah : 5,6 6,5). Tanah yang paling cocok untuk tanaman bawang merah adalah tanah Aluvial atau kombinasinya dengan tanah Glei-Humus atau Latosol (Sutarya dan Grubben, 1995). Tanah yang cukup lembab dan air tidak menggenang disukai oleh tanaman bawang merah (Rismunandar, 1986). Pada tanah alkalis (> pH 7,0) tanaman bawang merah sering memperlihatkan gejala klorosis, yakni tanaman kerdil dan daunnya menguning, serta hasil umbinya kecil-kecil yang disebabkan kekurangan unsur besi (Fe) dan Mangan (Mn). Sebaliknya pada tanah masam (< pH 5,0) tanaman bawang merah juga tumbuh kerdil karena keracunan Alumunium (Al) atau Mangan (Mn) (Sarief, 1985). Pengapuran pada tanah masam dapat memperbaiki pertumbuhan dan hasil umbi bawang merah (Sunarjono dan Soedomo, 1989). Di Pulau Jawa, bawang merah banyak ditanam pada jenis tanah Aluvial, tipe iklim D3/E3 yaitu antara (0-5) bulan basah dan (4-6) bulan kering, dan pada ketinggian kurang dari 200 m di atas permukaan laut. Selain itu, bawang merah juga cukup luas diusahakan pada jenis tanah Andosol, tipe iklim B2/C2 yaitu (5-9) bulan basah dan (2-4) bulan kering dan ketinggian lebih dari 500 m di atas permukaan laut (Nurmalinda dan Suwandi, 1995). Waktu tanam bawang merah yang baik adalah pada musim kemarau dengan ketersediaan air pengairan yang cukup, yaitu pada bulan April/Mei setelah panen padi dan pada bulan Juli/Agustus. Penanaman bawang merah di musim kemarau biasanya dilaksanakan pada lahan bekas padi sawah atau tebu (Jawa), sedangkan penanaman di musim hujan dilakukan pada lahan tegalan. Bawang merah dapat ditanam secara tumpangsari/tumpanggilir seperti dengan tanaman cabai merah (Sutarya dan Grubben, 1995). TEKNIK PENANAMAN Pola Tanam Rotasi tanaman bawang merah dengan padi setahun sekali dan dengan tebu tiga tahun sekali seperti di Kabupaten Brebes (Jawa Tengah) cukup baik dan sangat membantu mempertahankan produktivitas lahan. Untuk melestarikan produktivitasnya, lahan pertanian yang digunakan untuk produksi pangan tidak boleh dibiarkan memiliki salinitas tinggi dan drainase yang buruk. Memaksimalkan penggunaan lahan untuk produksi dapat ditempuh dengan cara tumpang gilir maupun tumpangsari. Pola tanam tumpang gilir bawang merah dan cabai merah memberikan keuntungan yang lebih besar daripada monokultur bawang merah (Hidayat et al., 1993) Pemilihan Varietas Penyebaran bawang merah yang sangat luas menyebabkan banyaknya varietas atau kultivar yang berasal dari daerah-daerah tertentu, seperti Sumenep, Bima, Lampung, Medan, Maja, Keling, Bauji, Pinggan, serta yang berasal dari luar seperti Bangkok, Filipina, yang satu sama lain memiliki perbedaan yang jelas. Sementara itu, Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) juga telah melepas beberapa varietas bawang merah, yaitu Kuning, Kramat-1, Kramat- 2, Sembrani dan Katomi. Perbedaan produktivitas dari setiap varietas/kultivar tidak hanya bergantung pada sifatnya saja, namun juga banyak dipengaruhi oleh situasi dan kondisi daerah. Iklim, tanah, pemupukan, pengairan termasuk faktor-faktor yang turut menentukan dalam produktivitas maupun kualitas umbi (warna, kepadatan, aroma, rasa dan bentuk) bawang merah. Sementara itu, faktor eksternal seperti selera (preferensi) konsumen juga dapat dipertimbangkan dalam memilih varietas yang akan ditanam disamping faktor genetik dan kesesuaian dengan kondisi daerah. Bawang merah yang warna kulitnya merah, umbi padat, ukuran sedang-besar, aroma 295 Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Inovasi Pertanian Lahan Marginal sedang, bentuk bulat merupakan bawang merah yang disukai konsumen (Ameriana dan Soetiarso, 1995). Umbi bibit Perbanyakan atau penanaman bawang merah umumnya dilakukan melalui umbi. Kualitas umbi bibit merupakan salah satu faktor yang menentukan tinggi rendahnya hasil produksi bawang merah. Umbi yang baik untuk bibit harus berasal dari tanaman yang sudah cukup tua umurnya, yaitu sekitar 60-90 hari setelah tanam (tergantung varietas). Umbi sebaiknya berukuran sedang (5-10 g). Penampilan umbi bibit harus segar dan sehat, bernas (padat, tidak keriput), dan warnanya cerah (tidak kusam). Umbi bibit sudah siap ditanam apabila telah disimpan selama 2 4 bulan sejak panen, dan tunasnya sudah sampai ke ujung umbi. Cara penyimpanan umbi bibit yang baik adalah menyimpannya dalam bentuk ikatan di atas para-para dapur atau disimpan di gudang khusus dengan pengasapan (Sutarya dan Grubben, 1995; Nazaruddin, 1999). Faktor yang cukup menentukan kualitas umbi bibit bawang merah adalah ukuran umbi (Suwandi, 1989). Berdasarkan ukurannya, umbi bibit bawang merah dapat digolongkan menjadi tiga kelas bibit, yaitu : - Umbi bibit besar ( = > 1,8 cm atau > 10 g) - Umbi bibit sedang ( = 1,5 1,8 cm atau 5 10 g) - Umbi bibit kecil ( = < 1,5 cm atau < 5 g) Secara umum kualitas umbi yang baik untuk bibit adalah umbi yang berukuran sedang (Stallen dan Hilman, 1991). Umbi bibit berukuran sedang merupakan umbi ganda, rata-rata terdiri dari 2 siung umbi, sedangkan umbi bibit berukuran besar rata-rata 3 siung umbi (Rismunandar, 1986). Umbi bibit yang besar dapat menyediakan cadangan makanan yang banyak untuk pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya di lapangan. Umbi bibit berukuran besar ( > 1,8 cm) akan tumbuh lebih vigor, menghasilkan daun-daun lebih panjang, luas daun lebih besar, sehingga dihasilkan jumlah umbi per tanaman dan total hasil yang tinggi (Stallen and Hilman, 1991; Hidayat et. al., 2003). Namun bila diperhitungkan secara ekonomis, penggunaan umbi bibit yang berukuran besar akan sangat berkaitan erat dengan total berat kebutuhan dan harga umbi bibit, sehingga biayanya akan lebih mahal. Karena itu, kebanyakan petani lebih senang menggunakan umbi bibit yang berukuran berukuran sedang. Umbi bibit berukuran kecil ( = < 1,5 cm) akan lemah pertumbuhannya, dan hasilnya pun rendah (Rismunandar, 1986). Hasil penelitian menunjukkan bahwa, penggunaan umbi bibit besar tidak meningkatkan persentase bobot umbi berukuran besar yang dihasilkan, tetapi meningkatkan total hasil per plot. Hal ini lebih disebabkan oleh jumlah umbi per tanaman yang nyata meningkat bila digunakan umbi besar sebagai bibit ( Stallen and Hilaman, 1991). Sebelum ditanam, kulit luar umbi bibit yang mengering dibersihkan. Untuk umbi bibit yang umur simpannya kurang dari 2 bulan biasanya dipotong ujungnya, kira-kira bagian. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mempercepat pertumbuhan tunas dan merangsang tumbuhnya umbi samping (Rismunandar, 1986; Hidayat, 2004). Banyaknya umbi bibit yang diperlukan dapat diperhitungkan dari jarak tanam dan berat umbi bibit. Kebutuhan umbi bibit untuk setiap hektarnya berkisar antara 600 1200 kg (Sutarya dan Grubben, 1995). Sebagai contoh dari petakan seluas 1 m2 dengan jarak tanam 15 x 20 cm dapat ditanam 40 tanaman, Maka untuk lahan 1 ha dengan efisiensi lahan 65% memerlukan umbi bibit 6.500 m2 x 40 umbi = 260.000 umbi, seberat 260.000 x 5 g = 1.300 kg bersih. Maka untuk 1 ha tanaman, perlu disediakan umbi bibit kotor sekitar 1.500 kg. Kerapatan Tanaman Selain ukuran umbi bibit, kerapatan tanaman atau jarak tanam juga berpengaruh terhadap hasil umbi bawang merah. Tujuan pengaturan jarak tanam pada dasarnya adalah memberikan kemungkinan tanaman untuk tumbuh dengan baik tanpa mengalami persaingan, baik dalam hal pengambilan air, unsur hara maupun cahaya matahari, serta memudahkan pemeliharaan tanaman. Penggunaan jarak tanam yang kurang tepat, dapat merangsang pertumbuhan gulma sehingga dapat menurunkan hasil (Marid and Vega, 1971). Secara umum hasil tanaman per satuan luas tertinggi diperoleh pada kerapatan tanaman tinggi, akan tetapi 296 T.A. Soetiarso: Teknologi Inovatif Bawang Merah dan Pengembangannya bobot masing-masing umbi secara individu menurun karena terjadinya persaingan antar tanaman (Stallen and Hilman, 1991) Hasil penelitian berbagai diameter umbi dan kerapatan tanam bibit bawang merah menunjukkan bahwa bobot segar dan bobot kering umbi bawang merah nyata dipengaruhi oleh ukuran umbi dan kerapatan umbi bibit (Hidayat, 2003; Stallen and Hilman, 1991). Bobot umbi total tertinggi diperoleh pada penggunaan ukuran umbi bibit yang besar ( > 1,8 cm) dengan jarak tanam yang rapat. Akan tetapi laju peningkatan hasil tersebut mengalami penurunan dengan semakin rapatnya populasi tanaman untuk seluruh ukuran umbi (Stallen and Hilman, 1991). Sebagai gambaran bahwa peningkatan kerapatan tanam dari 44 ke 100 umbi bibit per m2, peningkatan hasil bawang merah lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan kerapatan tanam dari 100 ke 178 umbi bibit per m2 (Tabel 1). Sementara itu gambaran pertanaman bawang merah disajikan pada Gambar 1. Tabel 1. Pengaruh kerapatan tanaman dan ukuran umbi bibit terhadap hasil umbi kering simpan bawang merah (kg/4,5 m2) Diameter umbi bibit (cm) Hasil panen (kg/4,5) pada kerapatan tanaman 25 tan per m2 44 tan per m2 100 tan per m2 178 tan per m2 Rata-Rata > 1,8 1,5 1,8 1,0 1,5 5,7 3,6 3,0 7,8 5,7 4,6 10,1 8,1 6,5 11,2 9,3 7,9 8,7 a 6,7 b 5,5 c Rata-rata 4,1 d 6,0 c 8,2 b 9,5 a Sumber : Stallen dan Hilman, 1991. Hasil analisis ekonomi pada berbagai situasi harga umbi bibit dari bawang merah konsumsi menunjukkan bahwa kerapatan tanam optimum dengan gross margin tertinggi sekitar 50 tanaman per m2 (jarak tanam 10 x 20 cm). Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa hasil bawang merah tertinggi diperoleh pada penggunaan umbi bibit besar (> 10 g) dengan jarak tanam 20 x 15 cm, namun secara statistik tidak berbeda nyata dengan pengunaan umbi bibit sedang (5 10 g) dan jarak tanam 20 x 15 cm (Hidayat, 2003). Pengolahan Tanah Pengolahan tanah pada dasarnya dimaksudkan untuk menciptakan lapisan olah yang gembur dan cocok untuk budidaya bawang merah. Pengolahan tanah umumnya diperlukan untuk menggemburkan tanah, memperbaiki drainase dan aerasi tanah, meratakan permukaan tanah, dan mengendalikan gulma. Pada lahan kering, tanah dibajak atau dicangkul sedalam 20 cm, kemudian dibuat bedengan-bedengan dengan lebar 1,2 meter, tinggi 25 cm, sedangkan panjangnya tergantung pada kondisi lahan. Pada lahan bekas padi sawah atau bekas tebu, tanah dibuat bedengan-bedengan terlebih dahulu dengan ukuran lebar 1-1,75 cm (Brebes), kedalaman parit 5060 cm dengan lebar parit 4050 cm dan panjangnya disesuaikan dengan kondisi lahan (Gambar 2 dan 3). Kondisi bedengan mengikuti arah timur barat. Tanah yang telah diolah dibiarkan sampai kering dan kemudian diolah lagi 23 kali sampai gembur sebelum dilakukan perbaikan bedengan- bedengan dengan rapih. Waktu yang diperlukan mulai dari pembuatan parit, pencangkulan tanah (ungkap 1, ungkap 2, cocrok) sampai tanah menjadi gembur dan siap untuk ditanami adalah 34 minggu. Apabila masih ada sisa tanaman padi/tebu yang tertinggal kemungkinan dapat menjadi media penyakit tanaman bawang merah (Fusarium sp.) (Hidayat, 2004). Pada saat pengolahan tanah, khususnya pada lahan yang masam dengan pH kurang dari 5,6 disarankan pemberian kaptan/dolomit minimal 2 minggu sebelum tanam dengan dosis 11,5 ton/ha/tahun yang dianggap cukup untuk dua musim tanam berikutnya. Pemberian dolomit ini penting dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan unsur hara Kalsium (Ca) dan Magnesium (Mg) terutama pada lahan masam atau lahan-lahan yang diusahakan secara intensif untuk tanaman sayuran pada umumnya. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa untuk lahan yang dikelola secara intensif pemberian dolomit sebanyak 1,5 ton/ha dapat meningkatkan bobot basah dan bobot kering bawang merah (Tabel 2). 297 Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Inovasi Pertanian Lahan Marginal Tabel 2. Pengaruh dosis dolomit dan kapur kalsit terhadap bobot umbi dan jumlah umbi bawang merah. Perlakuan Bobot basah umbi Bobot kering umbi Jumlah Umbi (kg/1,6 m2) (kg/1,6 m2) per 10 tanaman Tanpa dolomit (kaptan) 7.14 ab 4.55 b 141.5 ab 1.5 t/ha dolomite 8.25 a 5.61 a 174.2 a 3.0 t/ha dolomite 7.48 ab 5.52 a 139.5 ab 1.5 t/ha kaptan 7.12 sb 5.10 a 132.8 b 3.0 t/ha kaptan 6.72 b 4.58 ab 133.5 b Sumber : Hilman dan Suwandi, 1990 Efisiensi penggunaan lahan pada penanaman bawang merah pertama sekitar 65%, sedangkan pada penanaman selanjutnya hanya 50-55% (Sutarya dan Grubben, 1995). Cara Tanam dan Pemupukan Setelah persiapan lahan untuk tanam selesai dilaksanakan/diolah, kegiatan selanjutnya adalah pemberian pupuk dasar. Pemakaian pupuk dasar meliputi penggunaan pupuk organik yang sudah matang dapat berupa pupuk kandang sapi dengan dosis 1020 t/ha atau pupuk kandang ayam dengan dosis 5-6 t/ha atau kompos dengan dosis 4-5 t/ha khususnya pada lahan kering, dan pupuk P (SP-36) dengan dosis 200-250 kg/ha (70 90 kg P2O5/ha), dengan cara disebar/diaduk rata dengan tanah 2-3 hari sebelum tanam. Balitsa merekomendasi penggunaan pupuk organik (kompos) sebanyak 5 t/ha yang diberikan bersama pupuk TSP/SP- 36. Pemberian pupuk organik tersebut untuk memelihara dan meningkatkan produktivitas lahan. Dari beberapa penelitian, kompos tidak meningkatkan hasil bawang merah secara nyata, tetapi mengurangi susut bobot umbi (dari bobot basah menjadi bobot kering jemur) sebanyak 5%. (Hidayat et al., 1991). Umbi bibit ditanam dengan jarak tanam 20 x 15 cm atau 15 x 15 cm (anjuran Balitsa) (Gambar 4). Tidak dianjurkan untuk menanam terlalu dalam, karena, mudah mengundang pembusukan. Setelah tanam, seluruh lahan disiram dengan embrat yang halus. Pemupukan susulan I dilakukan pada umur 10 15 hari setelah tanam dan susulan ke II pada umur 1 bulan sesudah tanam (Gambar 5), masing-masing dosis. Macam dan jumlah pupuk N dan K yang diberikan adalah sebagai berikut : N (150-200 kg N/ha) dan K sebanyak 50-100 kg K2O/ha atau 100-200 kg KCl/ha. Komposisi pupuk N yang paling baik dalam memproduksi hasil umbi bawang merah konsumsi adalah 1/3 N (Urea) + 2/3 N (ZA) (Tabel 3). Tabel 3. Pengaruh penggunaan pupuk N dan P terhadap hasil umbi bawang merah. Bobot umbi basah (kg/9 m2) Bobot umbi kering (kg/9 m2) Komposisi N Urea 16.64 2.00 ZA 14.40 1.76 N (Urea) + N (ZA) 15.87 1.90 1/3 N (Urea) + 2/3 N (ZA) 17.01 2.16 N (Urea) + N (ZA) 15.96 2.08 1/5 N (Urea) + 4/5 N (ZA) 16.64 2.10 Dosis P (kg/P2O5/ha) 60 15.40 2.00 120 15.63 1.83 180 16.72 1.95 240 16.58 2.13 Sumber : Hilman dan Suwandi, 1990. Kebutuhan pupuk K adalah 50-100 kg K2O/ha diaplikasikan bersama-sama pupuk N, diberikan secara larikan dan dibenamkan ke dalam tanah. Sumber pupuk K yang paling baik 298 T.A. Soetiarso: Teknologi Inovatif Bawang Merah dan Pengembangannya adalah KCl atau K2MgSO4 (Kamas). Selanjutnya untuk mencegah kemungkinan kekurangan unsur mikro dapat disarankan tanaman bawang merah diberikan pupuk pelengkap cair yang mengandung unsur mikro. Pengairan dan Penyiangan Faktor lingkungan lain yang sangat menentukan keberhasilan panen bawang merah adalah ketersediaan air. Jumlah dan waktu pengairan yang harus diberikan pada tanaman tergantung pada keadaan iklim, kandungan air tanah, tingkat pertumbuhan tanaman dan sifat perakaran tanah (Kamasari, 1983). Meskipun tanaman bawang merah tidak menyenangi banyak hujan, tetapi tanaman ini memerlukan air yang cukup selama pertumbuhannya melalui penyiraman. Pertanaman di lahan bekas sawah memerlukan penyiraman yang cukup pada keadaan terik di musim kemarau, yaitu biasanya disiram satu kali sehari pada pagi atau sore hari sejak tanam sampai umur menjelang panen. Sedangkan penyiraman yang dilakukan pada musim hujan umumnya hanya ditujukan untuk membilas daun tanaman, yaitu untuk menurunkan percikan tanah yang menempel pada daun bawang merah. Pada bawang merah, kekurangan air umumnya terjadi pada periode pembentukan umbi sehingga dapat menurunkan produksi, padahal pembentukan umbi merupakan periode kritis bagi tanaman bawang merah (Splitstosser, 1979). Untuk menanggulangi masalah ini perlu adanya pengaturan ketinggian muka air tanah (khusus pada lahan bekas sawah) dan frekuensi pemberian air pada tanaman bawang merah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian air 7,515 mm dengan frekuensi satu hari sekali rata-rata memberikan bobot umbi bawang merah tertinggi. Gambar 6 menyajikan aktivitas penyiraman. Pemeliharaan tanaman bawang merah lainnya yaitu pengendalian gulma. Pertumbuhan gulma pada pertanaman bawang merah yang masih muda sampai umur 2 minggu sangat cepat. Oleh karena itu penyiangan merupakan keharusan dan sangat efektif untuk luasan yang terbatas. Pengendalian hama dan penyakit OPT penting tanaman bawang merah Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) pada tanaman bawang merah merupakan salah satu faktor penting yang perlu mendapat perhatian, karena tercatat 13 jenis OPT (Tabel 4) yang diinventarisasi dari tanaman bawang merah (Adiyoga et al., 2000 ; Anonim, 2004). Komulatif luas serangan OPT bawang merah pada tahun 2000-2003 berturut-turut adalah 15.603 ha, 5.169,8 ha, 7.232,8 ha dan 5.930,4 ha (Anonim, 2004). Hal ini mengindikasikan bahwa secara komulatif luas serangan OPT bawang merah pada tahun 2003 yang mencapai 5.903,4 ha menurun jika dibandingkan dengan tahuntahun sebelumnya. Namun demikian, jika dilihat dari potensi kehilangan hasil oleh OPT utama, bawang merah menduduki peringkat pertama sebesar 138, 4 milyar rupiah dibandingkan dengan komoditas lainnya seperti kentang (116,9 milyar rupiah), kubis (61,6 milyar rupiah), cabai (49,7 milyar rupiah) dan tomat (8,9 milyar rupiah) (Anonim, 2004). Kehilangan hasil karena OPT tersebut dapat mencapai 20100% (Tabel 5). 299 Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Inovasi Pertanian Lahan Marginal Tabel 4. OPT yang menyerang tanaman bawang merah. Stadia tanaman Hama Penyakit Tanaman muda (1 4 MST) 1. Orong orong (Gryllotalpa spp.) 2. Ulat bawang (Spodoptera exigua) 3. Ulat grayak (Spodoptera litura) 4. Lalat pengorok daun (Liriomyza chinensis)* 1. Layu Fusarium (Fusarium oxysporum) Tanaman tua (5 9 MST) 1. Trips (Thrips tabaci) 2. Ulat bawang (S. exigua) 3. Lalat pengorok daun (L. chinensis) ** 1. Becak ungu (Alternaria porri) 2. Downy mildew (Peronospora destruktor) 3. Bercak daun cercospora (Cercospora duddiae) 4. Antraknose (Colletotrichum gloeosporiodes) 5. Layu Fusarium (F. oxysporum) 6. Nematoda (Dytylenchus dissaci, Helicotylenchus retusus) Umbi di gudang 1. Ngengat gudang (Ephestia cautella) Sumber : Adiyoga et al. (2000). * Ridland and Rauf (2003) ** Marwoto (1993) Keterangan : MST : Minggu Setelah Tanam Tabel 5. Persentase kehilangan hasil panen yang diakibatkan oleh OPT pada tanaman bawang merah. Jenis hama/penyakit utama Kehilangan hasil (%) 1. Ulat bawang 2. Penyakit trotol 3. Antraknosa 4. Penyakit layu 32 57 24 100 27 Sumber: Suhardi (1989); Setiawati (1996) Hama penting pada tanaman bawang merah Ulat bawang (Spodoptera exigua] Serangga dewasa merupakan ngengat dengan sayap depan berwarna kelabu gelap dan sayap belakang berwarna agak putih. Imago betina meletakkan telur secara berkelompok pada ujung daun. Satu kelompok biasanya berjumlah 50150 butir telur. Seekor betina mampu menghasilkan telur rata-rata 1.000 butir. Telur dilapisi oleh bulu-bulu putih yang berasal dari sisik tubuh induknya. Telur berwarna putih, berbentuk bulat atau bulat telur (lonjong) dengan ukuran sekitar 0.5 mm. Telur menetas dalam waktu 3 hari. Larva S. exigua berukuran panjang 2.5 cm dengan warna yang bervariasi. Ketika masih muda, larva berwarna hijau muda dan jika sudah tua berwarna hijau kecoklatan gelap dengan garis kekuningan-kuningan (Gambar 1). Lama hidup larva 10 hari. Pupa dibentuk pada permukaan tanah, berwarna coklat terang dengan ukuran 15 20 mm. Lama hidup pupa berkisar antara 6 7 hari (Fye and Mc Ada, 1972). Siklus hidup telur imago adalah 3 4 minggu. Larva S. exigua mempunyai sifat polifag (pemakan segala). Gejala serangan yang ditimbulkan oleh ulat bawang ditandai oleh adanya lubang-lubang pada daun mulai dari tepi daun permukaan atas atau bawah (Gambar 7 dan 8), bila serangan hebat, seluruh bagian daun dimakan (Duriat et al., 1994). Tanaman inang 300 T.A. Soetiarso: Teknologi Inovatif Bawang Merah dan Pengembangannya antara lain asparagus, kacang-kacangan, beet, brokoli, bawang putih, bawang merah, cabai, kentang, lobak, bayam dan tomat. Ulat Grayak (Spodoptera litura) Ngengat berwarna agak gelap dengan garis putih pada sayap depannya, sedangkan sayap belakang berwarna putih dengan bercak hitam. Seekor ngengat betina mampu menghasilkan telur sebanyak 2.0003.000 butir. Telur berwarna putih diletakkan berkelompok dan berbulu halus seperti diselimuti kain laken. Dalam satu kelompok telur biasanya terdapat sekitar 350 butir telur. Larva mempunyai warna yang bervariasi, tetapi mempunyai kalung hitam pada segmen abdomen yang keempat dan kesepuluh serta pada sisi lateral dan dorsal terdapat garis kuning (Gambar 9). Pupa berwarna coklat gelap terbentuk dalam tanah. Gejala serangan yang ditimbulkan oleh ulat bawang ditandai oleh adanya lubang-lubang pada daun, masuk dan makan daging daun bagian dalam (Hadisoeganda, 1995). Trips atau Hama Putih (Thrips tabaci) Tubuhnya tipis sepanjang 1 mm dan dengan sayap ber-umbai-umbai. Warna tubuh kuning dan berubah menjadi coklat sampai hitam jika sudah dewasa. Telur berwarna kekuningan, lama hidup 4 5 hari. Nimfa berwarna putih kekuningan lama hidupnya sekitar 9 hari (Gambar 10). Pupa terbentuk dalam tanah, lama hidup sekitar 9 hari. Satu ekor betina mampu menghasilkan telur sebanyak 80 telur (Ronald and Kessing, 1991; Chaput and Scooley, 1989) . Gejala serangan daun berwarna putih keperak-perakan (gambar 11). Sasaran serangan adalah daun muda atau pucuk daun. Nimfa dan imago menyerang bagian tersebut dengan jalan menggaruk atau meraut jaringan daun muda dan mengisap cairan sel-selnya. Bagian yang diserang tersebut akan ternoda berwarna putih mengkilat seperti warna perak. Pada serangan hebat, seluruh areal pertanaman berwarna putih dan akhirnya tanaman mati. Serangan hebat terjadi pada suhu udara rata-rata di atas normal dan kelembaban lebih dari 70%. T. tabaci menyerang paling sedikit 25 famili tanaman diantaranya kacang-kacangan, brokoli, kubis, wortel, kubis bunga, kapas, mentimun, bawang putih, melon, bawang merah, pepaya, nenas, tomat dan tembakau. Lalat Pengorok Daun (Liriomyza chinensis) Liriomyza sp pertama kali ditemukan menyerang tanaman bawang merah di desa Klampok, Kabupaten Brebes pada awal bulan Agustus 2000. Liriomyza sp. menyerang tanaman bawang merah dari umur 15 hari setelah tanam sampai menjelang panen. Kehilangan hasil akibat hama tersebut dapat mencapai 30100%. Hasil pantauan yang dilakukan di lapangan ternyata kerusakan yang diakibatkan oleh hama tersebut sangat berat dengan kerugian ekonomi yang tinggi. Di daerah pantauan tersebut, tanaman bawang merah yang terserang hama ini daunnya mengering akibat korokan larva. Para petani terpaksa memanen tanamannya lebih awal, sehingga umbi bawang yang dihasillkan berukuran sangat kecil (Setiawati, 2000). Pada keadaan serangan berat, hampir seluruh helaian daun penuh dengan korokan sehingga menjadi kering dan berwarna coklat seperti terbakar. Larva pengorok daun bawang merah ini dapat masuk sampai ke umbi bawang, dan hal ini yang membedakan dengan jenis pengorok daun yang lain. Ridland dan Rauf (2000) melaporkan bahwa spesies yang menyerang tanaman bawang merah adalah L. chinensis. L. chinensis berukuran panjang 1,72,3 mm. Seluruh bagian punggungnya berwarna hitam, telur berwarna putih, bening, berukuran 0,28 mm x 0,15 mm. Larva berwarna putih susu atau kekuningan, dan yang sudah berusia lanjut berukuran 3,5 mm (Gambar 12). Pupa berwarna kuning-keemasan hingga cokelat kekuningan, berukuran 2,5 mm (Gambar 12). Seekor betina mampu menghasilkan telur sebanyak 50300 butir. Siklus hidup pada tanaman bawang merah sekitar 3 minggu (Anonim, 2005). Tanaman inang L. chinensis hanya bawang merah, sedangkan pada tanaman lainnya belum diketahui. Gejala daun bawang merah yang terserang, berupa bintik-bintik putih akibat tusukan ovipositor, dan berupa liang korokan larva yang berkelok-kelok. Pada keadaan serangan berat, hampir seluruh helaian daun penuh dengan korokan sehingga menjadi kering dan berwarna coklat seperti terbakar (Gambar 13). 301 Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Inovasi Pertanian Lahan Marginal Orong-orong atau anjing tanah (Gryllotalpa spp.) Imago menyerupai cengkerik, mempunyai sepasang kaki depan yang kuat, dan terbang pada malam hari (Gambar 14). Nimfa seperti serangga dewasa, tetapi ukurannya lebih kecil. Sifatnya sangat polifag, memakan akar, umbi, tanaman muda dan serangga kecil seperti kutu daun. Lamanya daur hidup 3 4 bulan. Umumnya orong-orong banyak dijumpai menyerang tanaman bawang merah pada penanaman kedua. Hama ini menyerang tanaman yang berumur 1 -2 minggu setelah tanam. Gejala serangan ditandai dengan layunya tanaman, karena akar tanaman rusak. Ngengat gudang Larva berwarna kuning kecoklatan dengan bintik-bintik warna gelap, dengan panjang tubuh larva 1 mm. Gejala serangan umbi bawang merah menjadi keropos, jika dibelah ditemukan larva atau kotorannya. Selain menyerang bawang merah di gudang, hama ini juga menyerang bungkil kopra dan coklat. Penyakit Penting pada Tanaman Bawang Merah Penyakit Trotol atau Bercak Ungu (Purple Blotch) Organisme: cendawan Alternaria porri (Ell.) Cif. Infeksi awal pada daun menimbulkan bercak berukuran kecil, melekuk ke dalam, berwarna putih dengan pusat yang berwarna ungu (kelabu). Jika cuaca lembab, serangan berlanjut dengan cepat, bercak berkembang hingga menyerupai cincin dengan bagian tengah yang berwarna ungu dengan tepi yang kemerahan dikelilingi warna kuning yang dapat meluas ke bagian atas maupun bawah bercak. Ujung daun mengering, bahkan daun dapat patah. Permukaan bercak tersebut akhirnya berwarna coklat kehitaman (Gambar 15). Serangan dapat berlanjut ke umbi, yang menyebabkan umbi membusuk berwarna kuning lalu merah kecoklatan. Semula umbi membusuk, dan berair, yang dimulai dari bagian leher, kemudian jaringan umbi yang terinfeksi mengering, dan berwarna lebih gelap. Umbi tersebut dapat menjadi sumber infeksi untuk tanaman generasi berikutnya jika digunakan sebagai bibit. Penyakit Otomatis atau Antraknose (Antrachnose) Organisme: cendawan Colletotrichum gloesporioides (Penz.) Di daerah Brebes dan sekitarnya, penyakit ini disebut penyakit otomatis, karena tanaman yang terinfeksi akan mati dengan cepat, mendadak dan serentak. Serangan awal ditandai dengan terlihatnya bercak berwarna putih pada daun, selanjutnya terbentuk lekukan ke dalam (invaginasi), berlubang dan patah karena terkulai tepat pada bercak tersebut (Gambar 16). Jika infeksi berlanjut, maka terbentuklah koloni konidia yang berwarna merah muda, yang kemudian berubah menjadi coklat muda, coklat tua, dan akhirnya kehitam-hitaman. Dalam kondisi kelembaban udara yang tinggi terutama pada musim penghujan, konidia berkembang dengan cepat membentuk miselia yang tumbuh menjalar dari helaian daun, masuk menembus sampai ke umbi, seterusnya menyebar di permukaan tanah, berwarna putih, dan menginfeksi inang di sekitarnya. Umbi kemudian membusuk, daun mengering dan sebaran serangan yang bersifat sporadis tersebut, pada hamparan tanaman akan terlihat gejala botak-botak di beberapa tempat. Penyakit Embun Bulu atau Tepung Palsu (Downy Mildew) Organmisme : cendawan Peronospora destructor (Berk.) Casp. Pada kondisi yang lembab, berkabut atau curah hujan tinggi, cendawan akan membentuk massa spora yang sangat banyak, terlihat sebagai bulu-bulu halus berwarna ungu (violet) yang menutupi daun bagian luar dan batang (umbi) (Gambar 17). Gejala kelihatan lebih jelas jika daun basah terkena embun. Gejala akibat infeksi cendawan ini dapat bersifat sistemik 302 T.A. Soetiarso: Teknologi Inovatif Bawang Merah dan Pengembangannya dan lokal. Jika infeksi terjadi pada awal pertumbuhan tanaman, dan tanaman mampu bertahan hidup, maka pertumbuhan tanaman terhambat dan daun berwarna hijau pucat (MacNab, dkk., 1983). Bercak infeksi pada daun mampu menyebar ke bawah hingga mencapai umbi lapis, kemudian menjalar ke seluruh lapisan, Akibatnya, umbi menjadi berwarna coklat. Serangan lanjut akan mengakibatkan umbi membusuk, tetapi lapis luarnya mengering dan berkerut, daun layu dan mengering, sering dijumpai anyaman miselia yang berwarna hitam. Gejala lokal biasanya merupakan akibat infeksi sekunder, mengakibatkan bercak pada daun yang berwarna pucat dan berbentuk lonjong, yang mampu menimbulkan gejala sistemik seperti tersebut di atas. Penyakit Moler atau Layu Fusarium ("Twisting Disease") Organisme : cendawan Fusarium oxysporum (Hanz.) Sasaran serangan adalah bagian dasar umbi lapis. Akibatnya pertumbuhan akar maupun umbi terganggu. Gejala visual adalah daun yang menguning dan cenderung terpelintir (terputar). Tanaman sangat mudah tercabut karena pertumbuhan akar terganggu bahkan membusuk. Pada dasar umbi terlihat cendawan yang berwarna keputih-putihan, sedangkan jika umbi lapis dipotong membujur terlihat adanya pembusukan, yang berawal dari dasar umbi meluas ke atas maupun ke samping. Serangan lanjut akan mengakibatkan tanaman mati, yang dimulai dari ujung daun dan dengan cepat menjalar ke bagian bawahnya (Gambar 18) Penyakit Ngelumpruk atau Leumpeuh (Stemphylium leaf blight) Organisme : cendawan Stemphylium vesicarium (Wallr) Simmons Bercak-bercak berwarna putih kekuning-kuningan tumbuh sangat banyak dan cepat sesuai dengan arah bertiupnya angin diawal pertanaman. Cendawan tersebut mampu mematikan tanaman secara serentak dan kumpulan tanaman yang mati serentak tersebut terlihat seperti pada kelembaban udara yang tinggi dan berangin. Cendawan ditemukan baik menginfeksi secara tunggal maupun berasosiasi dengan cendawan A. porri. Penyakit Bercak Daun Serkospora (Cercosppora Leaf spot) Organisme : cendawan Cercospoera duddiae (Walles) Bercak klorosis kebanyakan terkumpul pada ujung daun dan sering tampak terpisah dengan yang menginfeksi pangkal daun, sehingga gejala visualnya terlihat daun tampak belang-belang. Bercak klorosis yang berbentuk bulat tersebut berwarna kuning pucat, bergaris tengah sekitar 3-5 mm. Serangan lebih lanjut menyebabkan pusat bercak berwarna coklat karena jaringannya mati. Di bagian tersebut terdapat bintik-bintik yang sebenarnya terdiri atas berkas-berkas konidiofora yang mengandung konidia,yang tampak jelas jika cuaca lembab. Pengendalian OPT Penting Prinsip-prinsip pengendalian OPT pada tanaman bawang merah - Pengendalian OPT dilakukan dengan sistem PHT - Sistem PHT dilaksanakan melalui kegiatan pemantauan dan pengamatan, pengambilan keputusan, dan tindakan pengendalian dengan memperhatikan keamanan bagi manusia serta lingkungan hidup secara berkesinambungan - Pemantauan dan pengamatan dilakukan terhadap perkembangan OPT dan faktor lingkungan yang mempengaruhinya - Pengambikan keputusan dilakukan berdasarkan hasil analisis data pemantauan dan pengamatan. - Keputusan dapat berupa : diteruskannya pemantauan dan pengamatan, atau tindakan pengendalian 303 Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Inovasi Pertanian Lahan Marginal - Pemantauan dan pengamatan dilanjutkan jika populasi dan atau tingkat serangan OPT tidak menimbulkan kerugian secara ekonomis. - Pengendalian dilakukan jika populasi dan atau tingkat serangan OPT dapat menimbulkan kerugian secara ekonomis Persyaratan tindakan pengendalian OPT a. Aspek teknis - Memadukan cara cara pengendalian yang serasi, selaras dan seimbang - Dapat menekan populasi OPT dan atau tingkat serangan OPT sampai batas tidak merugikan - Mengutamakan cara pengendalian budidaya, fisik, mekanik, biologis, dan genetik - Memanfaatkan semaksimal mungkin faktor pengendali alami - Menggunakan pestisida jika diperlukan dan dilakukan secara tepat guna dengan mengusahakan sekecil mungkin dampak negatif bagi manusia dan lingkungan b. Aspek ekonomis - Biaya terjangkau oleh masyarakat (seekonomis mungkin) - Memberikan manfaat yang optimal c. Aspek ekologis/lingkungan - Tidak mengganggu kesehatan dan atau mengancam keselamatan manusia - Tidak mengganggu kehidupan musuh alami dan organisme bukan sasaran lainnya - Tidak menimbulkan gangguan dan kerusakan sumberdaya alam hayati maupun non hayati - Tidak menimbulkan residu yang berbahaya pada hasil tanaman d. Aspek Sosial - Sesuai dengan kondisi sosial - Sesuai dengan budaya - Sesuai dengan agama - Sesuai dengan tingkat pendidikan Komponen Komponen Teknologi PHT Bawang Merah Beberapa komponen teknologi PHT pada tanaman bawang merah yang dapat dilakukan antara lain : Budidaya tanaman sehat - Waktu tanam yang tepat Penanaman pada musim kemarau dapat menekan serangan A. Porii (Hikmat, 2002). - Pergiliran tanaman Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan bawang bawangan dapat menekan serangan A. Porii (Hikmat, 2002). - Penggunaan varietas tahan Varietas Kuning (19), Bima dan Sumenep tahan terhadap hama S. Exigua, varietas Bauji (Gambar 20) tahan terhadap Alternaria porri (Baswartiati dan Nurbanah, 2001), varietas Bangkok toleran terhadap penyakit bercak ungu. - Pemilihan bibit Penggunaan bibit umbi yang berasal dari tanaman sehat, kompak (tidak keropos), tidak luka/kulit tidak terkelupas, warnanya mengkilat. 304 T.A. Soetiarso: Teknologi Inovatif Bawang Merah dan Pengembangannya - Pengolahan tanah yang baik - Pemupukan berimbang Penggunaan pupuk N yang berlebih dapat mengakibatkan tanaman menjadi sukulen karena bertambahnya ukuran sel dengan dinding sel yang tipis, sehingga mudah terserang OPT (Suryaningsih dan Asandhi, 1992). - Sanitasi Pengambilan dan pemusnahan bagian dan sisa-sisa tanaman yang terinfeksi. - Penyiraman Penyiraman dengan air (bersih) setelah turun hujan pada siang hari dilakukan untuk membersihkan konidia yang menempel pada tanaman bawang merah. Pemasangan perangkap Perangkap feromonoid seks dipasang sebanyak 50 buah/ha untuk menangkap ngengat S. Exigua (Gambar 21). Perangkap likat warna kuning dapat digunakan untuk menekan serangan lalat pengorok daun L. chinensis. Perangkap likat warna kuning sebaiknya dipasang segera setelah tanaman bawang merah tumbuh. Jumlah perangkap yang dibutuhkan adalah sebanyak 40 buah/ha (Gambar 22 dan 23). Perangkap lampu neon (TL 10 watt) dengan waktu nyala jam 18.00 sampai dengan jam 24.00 paling efisien dan efektif untuk menangkap imago dan menekan serangan S. exigua pada bawang merah(Gambar 24, 25 dan 26). Daya penekanan terhadap tingkat kerusakan mencapai 74 81%. Jika imago betina mempunyai kemampuan bertelur sebanyak 600 butir dengan daya tetas 30-40%, dan diasumsikan perbandingan jantan-betina 50% dari imago yang tertangkap, maka dapat dikatakan bahwa perangkap lampu neon (TL 10 watt) dapat menekan populasi larva S. exigua sebanyak 124,53/2 x 600 x 35% = 1.075,65 larva/minggu. Penerapan penggunaan lampu perangkap di Kabupaten Nganjuk Jawa Timur : pada luasan 1 ha dibutuhkan 30 titik lampu, jarak pemasangan 20 m x 15 m. Waktu pemasangan dan penyalaan lampu 1 minggu sebelum tanam sampai dengan menjelang panen (60 hari). Lampu dinyalakan mulai pukul 17.00 06.00 WIB. Tinggi pemasangan lampu antara 10 15 cm di atas bak perangkap, sedangkan mulut bak perangkap tidak boleh lebih dari 40 cm di atas pucuk tanaman bawang merah. Tabel 6. Hasil analisis usahatani bawang merah dengan menggunakan lampu perangkap. Nganjuk 2004. Cara Pengendalian Uraian Perangkap Lampu (PLN) Tanpa Lampu Biaya pemasangan lampu 30 titik @ Rp. 35.000 (lampu neon, kayu, paku, kabel, rekening listrik Pengendalian dengan insektisida Pada daerah dipasangi lampu: 2 kali penyemprotan Pada daerah tidak dipasangi lampu : 20 kali penyemprotan 1.050.000 600.000 --- 6000.000 Total biaya 1.650.000 6.000.000 Produksi (riil, kering sawah) Pakai lampu (24.000 kg @ Rp 2.200) Tanpa lampu (23.000 kg @ Rp 2.200) 52.800.000 50.600.000 Pendapatan petani (belum termasuk biaya usaha tani yang jumlahnya sama besar antara daerah dipasang lampu dan tanpa lampu) 51.150.000 44.600.000 Perbedaan keuntungan 6.550.000 305 Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Inovasi Pertanian Lahan Marginal Penggunaan sungkup kain kasa (Gambar 27) dapat menekan populasi telur dan larva serta intensitas kerusakan tanaman serta secara tidak langsung juga mampu meningkatkan jumlah anakan, tinggi tanaman, jumlah daun, dan jumlah umbi bawang merah. Kelambu kasa plastik tahan sampai dengan 6 8 musim tanam. Tabel 8. Hasil analisis usahatani bawang merah dengan menggunakan jaring kelambu. Probolinggo 2005. Cara Pengendalian Uraian Kerodong + Pestisida Pestisida 1. Biaya pengendalian Kerodong, menggunakan pestisida. Frekuensi 3 -5 kali/musim Pengendalian dengan pestida. Frekuensi 25 -30 Kali/ musim, interval 1 hari Biaya kerodong tanaman (10 kali pemakaian sebesar Rp 13.942.500 atau 1 kali pemakaian Rp 1.394.500) 504.000 - 1.394.500 - 7.029.000 - Jumlah 1.898.500 7.029.000 2. Hasil panen 10.300 kg @ Rp. 4.800 Bobot 9.960 kg @ Rp. 4,800 49.440.000 47.808.000 3. Keuntungan 47.541.500 40.779.000 4. Perbedaan keuntungan 6.762.500 Pengendalian secara mekanik (Gambar 28) dilakukan dengan cara mengumpulkan kelompok telur dan larva S. exigua (nguler) lalu memusnahkannya. Pengendalian secara mekanik dilakukan pada umur tanaman bawang merah tujuh hari setelah tanam sampai 35 hari setelah tanam (Setiawati, 1997). Pemanfaatan musuh alami - Parasitoid S. exigua. Eriborus sinicus : 10%, Diadegma sp., Chaprops sp, Euplectrus sp, Stenomesius japonicus, Microsplitis similes dan Peribaea sp. (Shepard et al., 1997) - Penggunaan SeNPV Persistensi Se-NPV berkisar antara 0 72 jam pada konsentrasi 8,0 x 1013PIBs/ml (Sutarya, 1996). Mortalitas sebesar 100% terjadi pada hari ke semjikan setelah perlakuan. Penggunaan ekstrak kasar 15 larva S. exigua terinfeksi SeNPV/l air yang mengandung virus sebanyak 4,45 x 1010) PiBs/ml, efektif terhadap S. exigua pada tanaman bawang merah (Moekasan, 1999). Konsentrasi SeNPV 1 g/l (4,82 x 1010 PIBs/g) dapat membunuh S. exigua pada 110,9 jam setelah penyemprotan (Moekasan, 2002). Pencampuran SeNPV dengan insektisida kimia (klorfluazuron, betasiflutrin, fipronil, prefonofos, deltamethrin, lamda sihalothrin, dan tebufenozida) memberikan efek sinergistik dan daya bunuh menjadi 84,4 jam (Moekasan, 2004). - Penggunaan Bionok untuk mengendalikan S. exigua. Bionok merupakan bahan aktif toksin hewan Arachnida dengan campuran bahan- bahan SDH lain serta "carrier" berupa Dioscorea dan SDS. Penggunaan Bionok mampu menekan kerusakan tanaman bawang merah sebesar 74 78,02% dan dapat meningkatkan bobot bawang sebesar 22,85% serta dapat meningkatkan biodiversitas sebesar 47,23% (Dibyantoro, 2003) 306 T.A. Soetiarso: Teknologi Inovatif Bawang Merah dan Pengembangannya Pestisida yang dianjurkan pada tanaman bawang merah a. Pestisida nabati Penggunaan bahan nabati untuk mengendalikan OPT sudah dilakukan sejak lama, namun demikian penelitian mengenai pengaruh ekstrak tanaman nabati untuk mengendalikan OPT di Indonesia masih sangat sedikit. Beberapa insektisida nabati (pestitani) yang dapat digunakan untuk mengendalikan OPT bawang merah seperti yang dilaporkan oleh Suryaningsih dan Hadisoeganda (2004) disajikan berikut ini: AGONAL 866 atau NISELA 866 AGONAL 866 adalah akronim dari nama latin tanaman Azadirachta indica sebanyak 8 bagian, Cymbopogon nardus sebanyak 6 bagian dan Alpinia galanga sebanyak 6 bagian. Menggunakan bahasa/nama lokal, akronim tersebut adalah NISELA 866 yaitu nimba sebanyak 8 bagian, serai wangi sebanyak 6 bagian dan laso sebanyak 6 bagian. Bahan baku : Untuk 1 ha pertanaman dibutuhkan 8 kg daun A. indica (nimba), 6 kg daun C. nardus (serai wangi) dan 6 kg rimpang Alpinia galanga (laos). TIGONAL 866 atau KISELA 866 TIGONAL 866 adalah akronim dari nama latin tanaman Tithonia diversifolia sebanyak 8 bagian, C. nardus sebanyak 6 bagian, A. galanga sebanyak 6 bagian. Akronim nama lokal adalah KISELA 866 yaitu : kipahit sebanyak 8 bagian, serai wangi sebanyak 6 bagian dan laos sebanyak 6 bagian. Bahan baku : Untuk 1 ha pertanaman dibutuhkan sebanyak 8 kg daun T. diversifolia (kipahit), 6 kg daun C. nardus (serai wangi) dan 6 kg rimpang A. galanga (laos). PHROGONAL 966 dan BISELA 866 PHROGONAL 866 adalah akronim dari nama latin tanaman Tephrosia candida sebanyak 8 bagian, C. nardus sebanyak 6 bagian, A. galanga sebanyak 6 bagian. Akronim nama lokal adalah BISELA 866 yaitu : kacang babi sebanyak 8 bagian, serai wangi sebanyak 6 bagian dan laos sebanyak 6 bagian. Cara meracik : Semua bahan dicacah, dicampur dan digiling sampai halus, kemudian ditambah dengan 20 l air bersih dan diaduk selama 5 menit, lalu diendapkan selama 24 jam. Suspensi disaring, laruta atau ekasar diencerkan sebanyak 30 kali dengan cara menambah air bersih sebanyak 580 l sehingga volume ekstrak kasar menjadi 600 l, sebagian bahan perata dapat dutambah 0.1 g sabun atau deterjen per 1 l ektrak (60 g per 600 l ekstrak). Cara dan waktu aplikasi : Pestitani disemprotkan ke seluruh bagian tanaman pada sore hari. Interval penyemprotan 4 hari sekali. b. Pestisida Kimia Pestisida kimia yang dapat digunakan untuk mengendalikan OPT pada tanaman bawang merah secara lengkap disajikan pada Tabel 9. 307 Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Inovasi Pertanian Lahan Marginal Tabel 9. Beberapa pestisida yang efektif untuk mengendalikan OPT bawang merah No OPT Sasaran Pestisida anjuran 1. Ulat bawang (S. exigua) Klorpirifos (Dursban), deltametrin (Decis 2.5 EC), Khlorfluazuron (Atabron), Diflubenzuron (Dimilin), Triazopos (Hostathion 200 EC), Fenpropatrin (Fentrin 50 EC) 2. Liriomyza sp. Siromazin (Cyrrotex 75 SP), Siromazin (Trigard 75 WP), Dimehipo (Spntan 400 WSC) , Abamectin (Agrimec 18 EC), Bensultaf (bancol 50 WP), Amitrac 200 g/l), Klorfenafir (Rampage 100 EC), 3. Thrips tabaci Permetrin (Perkill 50 EC), Piraklofos) Voltage 560 EC, Kartap hidroklorida (Padan 50 SP) 4. Alternaria porii Azoksistrobin (Amistar 250 SC), Heksakonazol (Anvil 75 WP), Karbendazim (Bavistin 50 WP), Klorotalanil (Daconil 500 F), Mancozeb (Dithane M-45 80 WP), Tebukonazol (Folicur 25 WP), Tembaga hidroksida (Kocide 54 WDG), Fenarimol (Rubigan 120 EC), difenokonazol (Score 250 EC), Maneb (Trineb 80 WP), 5. Colletotrichum gleosporioides Karbendazim (Derosal 60 WP), Metiram (Polycom 70 WG) 6. Peronospora destructor Klorotalanil (Daconil 75 WP), Asam fosit (Folirfos 400 AS) PANEN DAN PASCA PANEN Panen Panen bawang merah (yang telah cukup tua) biasanya dilakukan pada umur 60-70 hari untuk dataran rendah dan 80-100 hari untuk dataran tinggi. Tanda-tanda bawang merah yang telah siap dipanen adalah sebagai berikut : - Pangkal daun bila dipegang sudah lemah, daun bagian atas mulai rebah. - 70-80% daun berwarna kuning. - Umbi lapis kelihatan penuh berisi. - Sebagian umbi tersembul di atas permukaan tanah. - Sudah terjadi pembentukan pigmen (warna) merah, timbulnya warna merah tua atau merah keunguan pada umbi dan timbulnya bau yang khas bawang. Pemungutan hasil sebaiknya dilaksanakan cuaca cerah dan keadaan kering. Seluruh tanaman dicabut secara mekanis (dengan tangan) secara hati-hati, kemudian setiap satu kepal diikat pada 1/3 daun bagian atas, untuk mempermudah penanganan berikutnya. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam pemanenan adalah harus dihindari terjadinya luka pada umbi akibat gesekan umbi dengan tanah dan umbi tertinggal dalam tanah. Hal tersebut seringkali terjadi bila tanah dalam keadaan kering. Untuk itu dapat dilakukan penyiraman tanaman dengan air 1-2 hari sebelum panen. Pasca panen Pengeringan Secara garis besar pengeringan bawang merah dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pengeringan alamiah (dengan penyinaran matahari secara langsung) dan pengeringan buatan. Pengeringan alamiah Pengeringan dilakukan dengan penjemuran, yang dilaksanakan dengan cara menyusun bawang dalam barisan 5-7 baris, daun diatur agar berada di bagian atas. Pembalikan dilakukan 2-3 hari sekali. Proses pengeringan dianggap cukup dan dihentikan pada saat umbi mencapai 308 T.A. Soetiarso: Teknologi Inovatif Bawang Merah dan Pengembangannya susut bobot 25-40% dan kadar air umbi sudah mencapai 80-84%. Untuk meningkatkan daya simpan disarankan agar pengeringan sampai pada tahap kering mati (kering simpan). Keadaan ini dapat dicek dengan cara membungkus rapat bawang merah dalam kemasan plastik tembus pandang. Jika setelah disimpan selama 24 jam tidak terlihat adanya titik-titik air menempel pada bagian dalam plastik, berarti bawang merah sudah mencapai tahap kering mati. Pengeringan buatan Proses pengeringan secara buatan (mekanis) dilakukan dengan menggunakan beberapa macam alat pengering seperti cabinet dryer (oven kabinet), kipas, ruang pengering berventilasi tanpa sumber panas buatan, ruang pengering dengan sumber panas buatan dan ruang berpembangkit vorteks. Pembuatan tepung bawang merah Bawang merah dapat diolah dalam bentuk tepung/bubuk. Tahapan pembuatan tepung bawang merah : Pemilihan bahan Bawang merah yang akan diolah harus mempunyai bentuk yang seragam, bebas dari cacat akibat penyakit maupun kerusakan mekanis lainnya. Pemilihan bahan dilakukan secara manual. Pengupasan Tindakan pengupasan bertujuan untuk menghilangkan bagian kulit, akar dan bagian atas umbi. Setelah pengupasan dilakukan pencucian dengan air bersih untuk menghilangkan kotoran. Penirisan Setelah dicuci bawang merah ditiriskan (agar air terpisah dari bahan). Pengirisan Bawang merah diiris dengan menggunakan pisau anti karat (stainless) atau alat pengiris (food processor), ukuran ketebalan pengirisan sekitar 1-1,5 mm. Perendaman Irisan bawang merah direndam dalam larutan natrium metabisulfit (Na2S2O5) dengan konsentrasi 500 ppm selama 10 menit. Pengeringan Irisan bawang merah ditaburkan dalam loyang, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 60 C selama 24 jam. Penggilingan Irisan bawang merah yang telah kering digiling dengan menggunakan penggiling (glinder) Dilakukan pengayakan dengan saringan yang ukuran mata saringnya 60 mesh, selanjutnya produk dikemas. Pembuatan acar bawang merah Pada pembuatan acar bawang merah digunakan cuka dan garam sebagai bahan pengawet. Acar bawang merah banyak digunakan sebagai penyedap berbagai masakan seperti pada bakso, mi dan lain-lain. Bahan-Bahan Bahan-bahan yang diperlukan adalah sebagai berikut: Bawang merah : 500 gram 309 Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Inovasi Pertanian Lahan Marginal Cuka 25% : 200 ml (1 botol kecil) Garam : secukupnya Gula pasir : secukupnya Air : secukupnya Cara pembuatan : Pilih bawang merah yang berukuran kecil dan tanpa cacat, lalu dikupas dan dicuci. Bawang merah yang ukuran umbinya lebih besar, setelah dicuci lalu dipotong- potong dengan ukuran sesuai dengan selera. Celupkan dalam air mendidih selama 1 menit, lalu diangkat dan dimasukkan dalam air dingin kemudian ditiriskan. Masukkan bawang merah tersebut kedalam botol yang telah disterilkan sekitar dari isi botol. Buat larutan cuka dengan cara mencampurkan 1 liter air dan 1 botol cuka 25%, gula pasir dan garam secukupnya. Panaskan larutan tersebut hingga mendidih. Setelah larutan tersebut agak dingin masukkan ke dalam botol yang telah berisi bawang merah sehingga mencapai sekitar 2 cm dibawah permukaan tutup botol, botol lalu ditutup rapat. TEKNOLOGI INOVATIF Secara garis besar teknologi produksi bawang merah yang tersedia (inovatif) dirangkum pada Tabel 10. Tabel 10. Teknologi produksi bawang merah yang tersedia (inovatif) Aspek Teknologi Perbenihan Perbanyakan benih bawang merah melalui TSS (True Shallot Seed). Keunggulan : Kebutuhan per/ha hanya 3 kg, mudah dan murah dalam penyimpanan dan transportasi dan harga benih lebih murah Varietas Balitsa telah melepas tiga varietas bawang merah dengan nama Kramat-1, Kramat-2, Kuning, Katomi dan sembrani Karakteristik ketiga varietas tersebut antara lain adalah: Kramat-1 : Potensi hasil 25 t/ha umbi kering, warna umbi merah tua, bentuk bulat, bagian leher agak berat, agak tahan terhadap Fusarium dan kurang tahan terhadap A. porii . Kramat-2 : Potensi hasil 22 t/ha, warna umbi merah pucat, bentuk bulat bagian leher agak besar, agak tahan terhadap Fusarium, tidak tahan terhadap A. porii. Kuning : Potensi hasil 21 t/ha, warna umbi merah gelap, bentuk bulat, ujung merun-cing, agak tahan terhadap busuk ujung daun A. porii. Katomi : Potensi hasil 19,2 t/ha Sembrani : Potensi hasil 24 t/ha Kultur teknis 1. Pengolahan lahan : lahan sawah dan lahan kering tegalan Jarak tanam : 15 x 20 cm atau 15 x 15 cm 2. Umbi bibit : bibit tidak mengandung penyakit, tidak cacat, lama penyimpanan 24 bulan 3. Cara tanam dan pemupukan : a. Untuk penanaman bawang merah secara monokultur di lahan kering/ tegalan: Pupuk dasar : - Pupuk kandang sapi (10-20 t/ha) atau kotoran ayam (5-6 t/ha) atau kompos (4-5 t/ha). - Pupuk buatan SP-36 (200-250 kg/ha) (70-90 kg P2O5/ha) - Pupuk kandang atau kompos dan pupuk buatan (SP-36) disebar serta 310 T.A. Soetiarso: Teknologi Inovatif Bawang Merah dan Pengembangannya diaduk rata dengan tanah satu sampai tiga hari sebelum tanam. - Bibit yang siap tanam dirompes, pemotongan ujung bibit hanya dilakukan apabila bibit bawang merah belum siap benar ditanam (pertumbuhan tunas dalam umbi 80%). Pupuk susulan : - Pupuk N sebanyak 150-200 kg/ha, yang terdiri dari N Urea dan N ZA atau Urea (150-200 kg/ha), ZA (350-500 kg/ha) dan K sebanyak 50- 100 kg/ha (KCl = 100-200 kg/ha). - Pemupukan susulan I dilakukan pada umur 10-15 hari setelah tanam dan susulan II pada waktu umur 1 bulan setelah tanam, masing-masing dosis b. Untuk penanaman bawang merah secara monokultur di lahan sawah (bekas padi) : Pupuk dasar : - Pupuk buatan TSP (90 kg P2O5/ha) disebar serta diaduk rata dengan tanah satu sampai tiga hari sebelum tanam. - Bibit yang siap tanam dirompes, pemotongan ujung bibit hanya dilakukan apabila bibit bawang merah siap benar ditanam (pertumbuhan tunas dalam umbi 80%). Tujuan pemotongan ubi bibit adalah untuk memecahkan masa dormansi dan mempercepat pertumbuhan tunas tanaman. Pupuk susulan : - N ( N dari Urea + N dari ZA) sebanyak 180 kg/ha dan K2O (50-100 kg/ha) - Pemupukan susulan I dilakukan pada umur 10-15 hari setelah tanam dan susulan II pada waktu umur 1 bulan setelah tanam, masing-masing dosis Pengendali- an OPT 1. Tiga belas (13) jenis OPT yang menyerang tanaman bawang merah. OPT penting yaitu Liriomyza chinensis, Thrips tabaci, Spodoptera exigua, Alternaria porri, Fusarium sp. Kehilangan hasil karena OPT 26 32 %. 2. Pengendalian Hama Terpadu (PHT) - Pengendalian secara kultur teknis : pemupukan berimbang, penggunaan varietas tahan. - Penggunaan musuh alami (parasitoid, predator dan patogen serangga). - Pengendalian secara mekanik : pembutitan, penggunaan jaring kelambu. - Penggunaan berbagai jenis perangkap (feromonoid seks, perangkap kuning, perangkap lampu dll). - Penggunaan biopestisida. - Penggunaan insektisida selektif berdasarkan ambang pengendalian. Pasca Panen Prosessing : irisan kering, tepung, acar, pasta PENGEMBANGAN TEKNOLOGI INOVATIF Selama tiga tahun terakhir Balitsa telah melakukan Litkaji/Pengembangan Teknologi Inovatif bawang merah di dua lokasi, yaitu Buleleng Bali dan Nganjuk-Jawa Timur dengan tujuan untuk mendiseminasikan teknologi inovatif bawang merah yang telah dihasilkan langsung kepada pengguna. Beberapa hasil yang diperoleh diantaranya adalah (Soetiarso, 2005; Soetiarso, 2006) : Dibandingkan dengan varietas Pingan (lokal Buleleng) dan Bauji (lokal Nganjuk) serta Ampenan (petani), bawang merah hasil Balitsa (Kuning) memiliki pertumbuhan tanaman nyata lebih baik ditinjau dari tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan. 311 Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Inovasi Pertanian Lahan Marginal OPT dominan yang terdapat pada petak percobaan (Buleleng), baik pada varietas Kuning maupun Pinggan adalah S. Exigua, diikuti berturut turut oleh Coleoptera, Grillotalpa sp dan jangkrik. Varietas Kuning relatif lebih tahan terhadap serangan S. exigua dibandingkan dengan varietas Pinggan, Bauji maupun Ampenan. Sementara itu, OPT dominan pada pertanaman di Nganjuk, S. exigua, T. Tabaci dan penyakit Fusarium. Teknologi perangkap lampu yang digunakan dikombinasikan dengan pengendalian secara mekanis dan penggunaan insektisida secara nyata dapat menekan populasi OPT sampai di bawah ambang pengendalian 10%. Petani secara mandiri mengadopsi lampu perangkap setelah mengetahui keunggulannya, disamping mampu mengendalikan hama utama Spodoptera exigua juga hemat biaya pestisida dan tenaga kerja karena frekuensi penyemprotan dengan menggunakan pestisida dapat dikurangi hingga 80%. Penggunaan teknologi inovatif bawang merah terutama penggunaan varietas Kuning, ternyata dapat mempertahankan hasil bawang merah sebesar 1,85 kali dibandingkan dengan varietas Pingan dan 1,20 kali dibandingkan dengan varietas Bauji. Varietas Kuning sudah mulai menyebar dan ditanam di luar desa pengembangan (Buleleng). DAFTAR PUSTAKA Adiyoga, W., T. K. Moekasan, T. S. Uhan, E. Suenaryo dan Hendarsih. 2000. Present status of pest and disease management on food and vegetable crops and its future development. Lap. PEI dan PT. PCI. Ameriana, M. dan T. A. Soetiarso. 1995. Persebaran, produksi dan konsumsi. Dalam Sunarjono, H., Suwandi, A. H. Permadi, F. A. Bahar, S. Sulihanti dan W. Broto (Eds.). Teknologi produksi bawang merah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta: 6. Anonim. 2004. Kinerja Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis Hortikultura 2000 2003. Departemen Pertanian. Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura Jakarta 133 hal. Anonim. 2005. Penerapan Pengendalian Hama terpadu Bawang Merah di Propinsi Jawa Timur. Dinas pertanian Propinsi Jawa Timur. Balai Proteksi Tanaman pangan dan Hortikultura. Jawa Timur. Anonim. 2005. Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman Bawang Merah dengan Menggunakan Jaring Kelambu. Dinas Pertanian tanaman pangan, Kehutanan dan Perkebunan. Kabupaten Probolinggo. Jawa Timur. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2004. Rancangan Dasar: Program rintisan dan akselerasi pemasyarakatan inovasi teknologi pertanian (Prima Tani). Departemen Pertanian. Jakarta: 28 h. Basuki, R. S., W. Adiyoga, A. Hidayat dan A. Dimyati. 2002. Profil komoditas dan analisis kebijaksanaan bawang merah. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta: 61 h. Baswarsiati dan S. Nurbanah. 2001. Siasati Permintaan Bawang Merah dengan menanam di Luar Musim. Abdi Tani. 2 (5) : 15 17. Currah, F. and F. J. Proctor. 1990. Onion in tropical region. NRI Bull. No. 35. Dibiyantoro. A.L. 2003. Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman dengan Formula Biopestisida pada Komunitas Bawang dan Cabai. Lap.Perc. Balitsa. 2003. 312 T.A. Soetiarso: Teknologi Inovatif Bawang Merah dan Pengembangannya Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. 2005. Kebijakan pengembangan produksi bawang merah di Indonesia. Makalah disampaikan dalam Apresiasi Penerapan Penanggulangan OPT Bawang Merah, Surabaya, 5 7 Juli 2005. Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan. 1994. Vademekum pemasaran 1983-1993. Direkorat Bina Usaha Tani dan Pengolahan Hasil. Jakarta. Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura. 1999. Vademekum pemasaran 1990-1999. Direkorat Bina Usaha Tani dan Pengolahan Hasil. Jakarta. Duriat, A.S., T. A. Soetiarso, L. Prabaningrum dan R. Sutarya. 1994. Penerapan pengendalian hama terpadu pada budidaya bawang merah. Balai Penelitian Horticultura Lembang, Pusat Penelitian dan Pengembangan Horticultura. Badan Litbang Pertanian: 11-12. Fye, R.E. and W.C. McAda. 1972. Laboratory studies on the development, longevity and fecundity of six lepidopterous pests of cotton in Arizona. USDA Technical Bulletin 1454. 73 pp. Hadisoeganda, W. W., E. Suryaningsih dan T. K. Moekasan. 1994. Penyakit dan hama bawang merah dan cara pengendaliannya. Dalam Sunarjono, H., Suwandi, A. H. Permadi, F. A. Bahar, S. Sulihanti dan W. Broto (Eds.). Teknologi produksi bawang merah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta: 66-69. Hartmann, H. F., A. M. Kofranek, W. E. Rubatzky and W. J. Flocker. 1988. Plant science. Prentice Hall. International Edition. Hidayat, A. 2003. Pengaruh jarak tanam dan ukuran umbi bibit bawang merah terhadap hasil dan distribusi ukuran umbi bawang merah. Lap. Hasil Penel. Balitsa Lembang. Hidayat, A. 2004. Budidaya Bawang Merah. Beberapa Hasil Penelitian di Kabupaten Brebes. Makalah disampaikan pada Temu Teknologi Budidaya Bawang Merah. Direktorat Tana. Sayuran dan Bio Farmaka, Brebes, 3 September 2004. Hikmat, A. 2002. Bawang Merah di Bantul Aman dari Serangan Alternaria. Hortikultura 1(11) : 28 - 29 Javier, E. G. 1990. vegetable production training manual. AVRDC Taiwan, Taiwan. Kamasari, I. J. S. 1983. Hubungan antara modifikasi penman dengan panci kelas A untuk menduga evapotranspirasi potensial (ETO) sebagai komponen kebutuhan air irigasi. Fak. Pasca Sarjana IPB, Bogor. MacNab, A.A., A.F. Sherf and J.K. Springer. 1983. Identifying Diseases of Vegetables. The Pennsylvania State University. College of Agriculture, University park, Pennsylvania. 62 pp. Marid E. E. and M. R. Vega. 1971. Duration of weed control ad wild competition and the effect on yield. Phil. Agric. 55: 216-220. Marwoto, B. 1993. Pengendalian nematode spiral (Helycotylenchus retusus) pada tanaman bawang merah secara hayati : Pengaruh berbagai cendawan tular tanah terhadap perkembangan H. retusus pada tanaman bawang merah. Bul. Penel. Hort. Vol. XXV (1) : 9 15. Moekasan, T.K.., I. Sulastrini, T. Rubiati dan V.S. Utami. 1999.Pengujian efikasi ekstrak kasar SeNPV terhadap larva Spodoptera exigua pada tanaman bawang merah. J. Hort. 9 (1) : 121 - 128. 313 Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Inovasi Pertanian Lahan Marginal Moekasan, T.K. 2002. Efikasi formulasi SeNPV terhadap larva Spodoptera exigua Hbn. Pada Tanaman Bawang Merah di Rumah Kasa. J. Hort. 12 (2) : 94 101. Moekasan, T.K. 2004. Pencampuran Spodoptera exigua Nuclear Polyhedrosis Virus dengan Insektisida kimia untuk mortalitas larva Spodoptera exigua Hbn. Di laboratorium. J. Hort. 14 (3) : 178 - 187. Nazarudin. 1999. Budidaya dan pengaturan panen sayuran dataran rendah. Penebar Swadaya. Nurmalinda dan Suwandi. 1995. Potensi wilayah pengembangan bawang merah. Dalam Sunarjono, H., Suwandi, A. H. Permadi, F. A. Bahar, S. Sulihanti dan W. Broto (Eds.). Teknologi produksi bawang merah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta: 19. Ridland, P. and A. Rauf. 2003. Liriomyza huidobrensis leaf miner : developing effective pest management strategies for Indonesia and Australia. Review Report of the leafminer project. Rismunandar. 1986. Membudidayakan 5 jenis bawang. Penerbit Sinar Baru Bandung. Sarief, S. 1985. Ilmu tanah pertanian. Pustaka Buana. Bandung. Setiawati.W. 1996. Kerusakan dan Kehilangan Hasil Bawang Merah akibat Serangan Ulat Perusak daun (Spodoptera exigua Hbn.). Dalam : Duriat. A., R.S. Basuki, R.M. Sinaga, Y. Hilman dan Z. Abidin (eds.). Prosiding Ilmiah Nasional Komoditas Sayuran. Lembang 24 Oktober 1995. Balitsa Kerjasama dengan PFI Komda Bandung dan Ciba Plant Protection: 418-425. Setiawati.W. 1997. Penerapan Pengendalian Hama Terpadu pada Sistem Tanam Tumpanggilir Bawang dan Cabai. Lap. Penel. 1997. Setiawati.W. 2000. Analisis dampak penerapan PHT pada sistem tanam tumpanggilir bawang merah dan cabai. Lap. APBN 2000. Shepard, M., E.F. Shepard, G.R. Carner, M.D. Hamming, A. Rauf, S.G. Turnipseed and Samsudin. 1997. Prospect of IPM in Secondary food crops. Prosiding Kongres PEI V dan Simposium Entomologi Simatupang, P. 2004. Prima Tani sebagai langkah awal pengembangan sistem dan usaha agribisnis industrial. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta: 24 h. Splitstosser, W. E. 1979. Vegetable growing hand book. The Avi. Pub. Co. Inc. Conneccticut. Soetiarso, T. A. 2005. Pengembangan teknologi inovatif bawang merah. Laporan hasil penelitian. Balai Penelitian Tanaman Sayuran : 143 hal. Soetiarso, T. A. 2006. Pengembangan teknologi inovatif bawang merah dan sayuran lainnya mendukung Primatani. Laporan hasil penelitian. Balai Penelitian Tanaman Sayuran : 123 hal. Stallen, M. P. K. and Y. Hilman. 1991. Effect plant density and bulb size on yield and quality of shallot. Bul. Penel. Hort. XX Ed. Khusus (1) 1991. Suhardi. 1989. Taksiran kehilangan hasil bawang merah (Allium ascalonicum L. ) oleh antraknosa. Sub Balai Penelitian Hortikultura Segunung. 7 p. Sunarjono, H. dan P. Soedomo. 1989. Budidaya bawang merah (Allium ascalonicum). Penerbit Sinar Baru. Bandung. 314 T.A. Soetiarso: Teknologi Inovatif Bawang Merah dan Pengembangannya Suryaningsih, E dan A.A. Asandhi. 1992. Pengaruh pemupukan sistem petani dan sistem berimbang terhadap intensitas serangan penyakit cendawan pada bawang merah (Allium ascalonicum L.) varietas Bima. Bul. Penel. Hort. Vol. XXIV (2) : 19 26. Suryaningsih, E dan W.W. Hadisoeganda. 2004. Pestisida Botani untuk mengendalikan hama dan penyakit pada tanaman sayuran. Monografi 26. 36 hal. Sutarya, R. dan G. Grubben. 1995. Pedoman bertanam sayuran dataran rendah. Gajah Mada University Press. Prosea Indonesia Balai Penelitian Hortikultura Lembang. Sutarya, R. 1996. Pengujian Spodoptera exigua - nuclear polyhedrosis virus dalam hubungannya dengan sifat persistensinya untuk mengendalikan Spodoptera exigua Hubn. J. Hort. 6(2): 167-171. Suwandi. 1989. Bawang merah. Dalam Subhan, Sudjoko, Suwandi dan Z. Abidin (Eds.). Bercocok tanam sayuran dataran rendah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Penelitian Hortikultura Lembang, Proyek ATA-395, Bandung. Suwandi dan Y. Hilman. 1995. Budidaya tanaman bawang merah. Dalam Sunarjono, H., Suwandi, A. H. Permadi, F. A. Bahar, S. Sulihanti dan W. Broto (Eds.). Teknologi produksi bawang merah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta: 51. Wibowo, S. 1991. Budidaya bawang putih, bawang merah dan bawang bombay. Penerbit Swadaya, Jakarta. 315 Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Inovasi Pertanian Lahan Marginal LAMPIRAN : Gambar 1. Pertanaman bawang merah (Foto: Soetiarso) Gambar 3. Pembuatan garitan (Foto: Soetiarso Gambar 2. Persiapan lahan (Foto: Soetiarso Gambar 4. Penanaman (Foto: Soetiarso) Gambar 5. Pemupukan susulan (Foto: Setiawati) 316 T.A. Soetiarso: Teknologi Inovatif Bawang Merah dan Pengembangannya Gambar 6. Penyiraman (Foto: Soetiarso) Gambar 7. Telur, larva dan imago S. exigua (Foto: Kawana) Gambar 8. Gejala serangan S. exigua pada tanaman bawang merah (Foto : Setiawati) 317 Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Inovasi Pertanian Lahan Marginal Gambar 11. Gejala serangan thrips pada tanaman bawang merah (Foto : Chaput) Gambar 10. Nimfa T. Ta- baci (Foto: Chaput) Gambar 9. Larva S. litura (Foto: Courier) 318 Gambar 12. Larva, Pupa (Foto : Setiawati) dan Imago L. Chinensi (Foto : Anonim) T.A. Soetiarso: Teknologi Inovatif Bawang Merah dan Pengembangannya Gambar 13. Gejala serangan L. chinensis pada tanaman bawang merah (Foto : Setiawati) Gambar 14. Anjing tanah atau orong-orong (Gryllotalpa africana Pal) (Foto: Anonim) Gambar 15. Penyakit Alternaria porii dan gejala serangannya pada tanaman bawang merah (Foto : Jacobsen/Shurleff) Gambar 16. Gejala serangan penyakit Colletotrichum gloespo- rioides pada tanaman ba- wang merah (Foto: Suhardi) 319 Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Inovasi Pertanian Lahan Marginal Gambar 17. Gejala serangan penyakit embun bulu pada tanaman bawang merah (Foto : Sherf) 320 Gambar 18. Gejala serangan moler pada tanaman bawang merah (Foto : Soetiarso) Gambar 19. Varietas Kuning tahan terhadap S. exigua (Foto : Soetiarso) T.A. Soetiarso: Teknologi Inovatif Bawang Merah dan Pengembangannya Gambar 20. Varietas Bauji tahan terhadap A. porii (Foto : Soetiarso) ks pada tanaman bawang merah (Foto : Setiawati) Gambar 22. Perangkap likat kuning dan perangkap berjalan (Foto : Nasikin) Gambar 21 . Penggunaan feromonoid se 321 Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Inovasi Pertanian Lahan Marginal Gambar 23. L. chinensis yang terperangkap dalam perangkap kuning (Foto : Nasikin) Gambar 24 . Beberapa jenis lampu perangkap (Foto : Setiawati) Gambar 25. Penggunaan lampu perangkap pada tanaman bawang merah (Foto : Setiawati) Gambar 26. Perangkap lampu pada tanam- an bawang merah dimalam ha ri (Foto : Seoetiarso) 322 T.A. Soetiarso: Teknologi Inovatif Bawang Merah dan Pengembangannya endalikan S. exigua pada tanaman bawang Gambar 27. Penggunaan sungkup untuk meng merah (Foto : Setiawati) Gambar 28. Nguler pada tanaman bawang merah (Foto : Setiawati) Tanya Jawab 1. S. Widowati - Apakah budidaya yang dilakukan sudah dibandingkan cara pengendalian hama. Jawaban : - Pengendalian yang disampaikan bersifat universal. Aplikasi dilapangan sisa penyusaian. 2. Nurnina Nonci (BPTP Sulteng) : - Harga bawang merah tinggi disebabkan oleh hama - PTT yang ditempat, Bali, agar Balitsa dapat - Bagaimana OPT - Lalat penggerek merusak umbi 323 Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Inovasi Pertanian Lahan Marginal - Apa perbedaan serangan spodoptera exigua liptura Jawaban: - Langkh awal : bagaimana mengendalikan hama spodoptora tersebut hingga produksi bawang merah bisa meningkat - PTT di Bali mulai 2005. Jika Sulteng mau, saran buat surat ke Baitsa (kerjasama) - Lalat penggorok bukan saja menyerang tanaman muda tapi pada semua fase. - Gejala serangan hamper sama. Litura memakan semua. Exligua memakan bagian dalam. 3. Ir. Syamsul Bakhri, MS (BPTP Sulteng) - Bawang merah mirip dengan sumenep. Kemungkinan bawang merah palu disebut bawang lembah palu. - apakah di Balitsa tidak dapat memberikan rekomendasi dalam melepas varietas - Apakah perbedaan hormon sex yang ada diboegen dan Balitsa . - BPTP akan melakukan SL dengan menggunakan hormon jika Balitsa mempunyai kegiatan yang sama Balitsa bisa kerjasama. Jawab : - Balitsa tidak bisa berikan rekomndasi. Tapi hanya bisa membantu mengidentifikasi - Bawang merah - Hormon dari boigen agak berbeda dengan Balitsa - Balitsa yang ada tim Primatani sebagai narasumber dapat diundang, biaya dari Balitsa - Untuk mendapatkan 1 kegiatan di 2007 tidak bisa. - Apakah bisa diperuntukan bawang goreng, bagaimana cita rasanya - Ada beberapa varietas dari Brebes yang dikembangkan di Solouwe. Tidak cocok digoreng. 324 </p>