<p>Mengapa Kita Menolak Sekularisme?
Kontribusi dari Muhammad Shiddiq al-Jawi
Minggu, 25 April 2004
1. Pengertian Sekularisme
Sekularisme (secularism) secara etimologis menurut Larry E. Shiner berasal dari bahasa Latin saeculum yang aslinya
berarti “zaman sekarang ini” (the present age). Kemudian dalam perspektif religius saeculum dapat mempunyai makna
netral, yaitu “sepanjang waktu yang tak terukur” dan dapat pula mempunyai makna negatif yaitu “dunia ini”, yang dikuasai
oleh setan.*1)
Pada abad ke-19, tepatnya tahun 1864 M, George Jacob Holyoke menggunakan istilah sekularisme dalam arti filsafat
praktis untuk manusia yang menafsirkan dan mengorganisir kehidupan tanpa bersumber dari supernatural.*2)
Setelah itu, pengertian sekularisme secara terminologis mengacu kepada doktrin atau praktik yang menafikan peran
agama dalam fungsi-fungsi negara. Dalam Webster Dictionary sekularisme didefinisikan sebagai:
“A system of doctrines and practices that rejects any form of religious faith and worship.”
(Sebuah sistem doktrin dan praktik yang menolak bentuk apa pun dari keimanan dan upacara ritual keagamaan)
Atau sebagai:
“The belief that religion and ecclesiastical affairs should not enter into the function of the state especially into public
education.”
(Sebuah kepercayaan bahwa agama dan ajaran-ajaran gereja tidak boleh memasuki fungsi negara, khususnya dalam
pendidikan publik).*3)
Jadi, makna sekularisme, secara terminologis, adalah paham pemisahan agama dari kehidupan (fashlud din ‘an al
hayah), yakni pemisahan agama dari segala aspek kehidupan, yang dengan sendirinya akan melahirkan pemisahan
agama dari negara dan politik.*4)
Secara sosio-historis, sekularisme lahir di Eropa, bukan di Dunia Islam, sebagai kompromi antara dua pemikiran ekstrem
yang kontradiktif, yaitu:
Pertama, pemikiran tokoh-tokoh gereja dan raja di Eropa sepanjang Abad Pertengahan (abad V-XV M) yang
mengharuskan segala urusan kehidupan tunduk menurut ketentuan agama (Katolik). Mulai dari urusan keluarga,
ekonomi, politik, sosial, seni, hingga te