About Global Documents
Global Documents provides you with documents from around the globe on a variety of topics for your enjoyment.
Global Documents utilizes edocr for all its document needs due to edocr's wonderful content features. Thousands of professionals and businesses around the globe publish marketing, sales, operations, customer service and financial documents making it easier for prospects and customers to find content.
Bahasan atas Kritik terhadap Filsafat Hukum Hegel (1844) dan Uraian-uraian Tentang
Feuerbach (1845)
Bahasan atas Kritik terhadap Filsafat Hukum Hegel (1844) dan Uraian-uraian Tentang Feuerbach (1845)
Oleh Karim al-Marqiy (Perhimpunan Muda) Marx menulis karya-karya pendek di atas dalam konteks kedudukan
kritisnya, baik terhadap Hegel maupun Feuerbach. Sejalan dengan Kaum Hegelian Muda, Marx tidak mentah-mentah
menerima dogma Hegel. Tapi, berlainan dengan mereka, Marx juga mengambil jarak dengan Feuerbach. Dari keduanya
Marx mengambil sesuatu, dan terhadap keduanya juga Marx mengajukan kritiknya. Tulisan pertama menurut saya
merupakan suatu simpul yang mengikat pemikiran Marx, baik dalam upaya kritisnya terhadap Hegel maupun terhadap
Feuerbach. Bahasan tentang ‘kritik agama’ di awal tulisan merujuk pada kritik-kritik Hegelian Muda
terhadap Kaum Hegelian yang lebih konservatif. Meski Marx mengakui bahwa kritik agama merupakan prasyarat semua
kritik, tetapi ia lebih melihatnya sebagai titik pijak awal untuk memulai kritik lebih lanjut.
Bahasan atas Kritik terhadap Filsafat Hukum Hegel (1844) dan Uraian-uraian Tentang Feuerbach (1845)
Oleh Karim al-Marqiy (Perhimpunan Muda) I Marx menulis karya-karya pendek di atas dalam konteks kedudukan
kritisnya, baik terhadap Hegel maupun Feuerbach. Sejalan dengan Kaum Hegelian Muda, Marx tidak mentah-mentah
menerima dogma Hegel. Tapi, berlainan dengan mereka, Marx juga mengambil jarak dengan Feuerbach. Dari keduanya
Marx mengambil sesuatu, dan terhadap keduanya juga Marx mengajukan kritiknya.
Tulisan pertama menurut saya merupakan suatu simpul yang mengikat pemikiran Marx, baik dalam upaya kritisnya
terhadap Hegel maupun terhadap Feuerbach. Bahasan tentang ‘kritik agama’ di awal tulisan merujuk pada
kritik-kritik Hegelian Muda terhadap Kaum Hegelian yang lebih konservatif. Meski Marx mengakui bahwa kritik agama
merupakan prasyarat semua kritik, tetapi ia lebih melihatnya sebagai titik pijak awal untuk memulai kritik lebih lanjut.
Subjek filsafat adalah manusia nyata yang menghadapi kehidupan nyata di sekitarnya. Kritik, sejatinya harus menyentuh
kehidupan nyata yang di situ manusia hidup. Agama (dalam hal ini baik merujuk agama Kristen Jerman maupun filsafat
spekulatif) tiada lain pantulan hasil pergulatan kesadaran manusia dengan dunia yang dihidupinya. Manusia merupakan
pelihat sekaligus penghuni dunia. Sebagai pelihat, manusia memberi nilai-nilai kepada dunianya. Persoalan yang
dihadapi dicarikan jawaban-jawabannya; diuraikan dasar-dasarnya. Agama tiada lain hasil permenungan manusia atas
kenyataan yang dihadapi. Dalam perkembangannya, agama menjadi seperangkat dogma sumber dari segala sumber
copy-paste yang dianggap sebagai sesuatu yang turun dari langit. Kecenderungan untuk memandang agama sebagai
sesuatu yang turun dari langit merupakan kecenderungan semua agama yang menyejarah atau menjadi bagian dari
pergulatan politik-ekonomi suatu masyarakat.
Islam sebagai seperangkat dogma agama, ajaran kemanusiaan, pandangan hidup, dan teori sosial bisa saya ambil
sebagai contoh. Islam merupakan hasil pergulatan bangsa Arab dengan kondisi kehidupannya pada waktu itu. Mekkah
merupakan kota transit terbesar sepanjang Jazirah Arabia yang menghubungkan jalur perdagangan Syiria dan Abessinia
dalam jaringan perdagangan global. Kemakmuran sebagian orang dan kemelaratan sebagian besar lainnya merupakan
kenyataan yang dihadapi Mekkah. Ketimpangan sosial merupakan tampilan tatanan masyarakatnya. Solidaritas
kesukuan (ashabiyyah) yang merupakan kekuatan pengikat tradisional masyarakat kesukuan Arab, digantikan oleh
solidaritas kelas. Oleh karenanya tidak heran bila Abu Jahal lebih dekat dengan Abu Sofyan, seorang kapitalis-dagang
Mekkah, daripada dengan Abu Thalib atau Abdullah saudara kandungnya sendiri yang miskin. Pengutuban kelas
menjadikan masyarakat Mekkah sebagai masyarakat yang rentan. Potensi konflik tinggi. Di luar Mekkah dan kota
dagang lainnya, bangsa Arab terpilah-pilah ke dalam kesatuan suku-suku yang bercerai-berai tanpa solidaritas tunggal.
Hal ini ditunjukkan oleh kenyataan bahwa setiap suku mempunyai tuhannya masing-masing sehingga, konon, setiap
bulan haji ada sekitar tiga ratusan berhala yang berbeda-beda di dalam Ka’bah. Sementara itu, dua kekuatan
politik besar pada saat itu, yaitu Imperium Bizantium dan Sasanid-Persia, mengancam di barat dan utara. Baik secara
politik maupun ekonomi, Jazirah Arabia merupakan tempat potensial yang pasti akan dikuasai oleh salah satu kekuatan
tersebut. Belum mulainya penaklukan terhadap Arabia karena keduanya masih terlibat perang yang menyita energi.
Sebagai bangsa yang belum mempunyai kesatuan politik setingkat negara, Arab merupakan bangsa yang berpotensi
untuk dicaplok salah satu dari dua negara adidaya. Pada saat itulah Muhammad, seorang kuli penuntun onta yang
berpandangan luas karena pergaulan dan pengalamannya memahami kenyataan masa depan potensial yang akan
dihadapi bangsanya: dijajah.
Muhammad menarik pelajaran dari hasil pengamatannya. Prinsip ajarannya meliputi tiga hal penting. Pertama, perlu
persatuan bangsa Arab dalam satu kesatuan politik dan ekonomi. Kedua, harus ada upaya mengikis kesenjangan sosial-
ekonomi yang berpotensi konflik dan memecah belah bangsa Arab. Ketiga, bangsa Arab harus mengembangkan
pranata-pranata penting untuk mewujudkan masyarakat negara di suatu hari nanti, terutama dasar peradaban: baca-
tulis. Prinsip pertama diwakili oleh ajaran tauhid atau pengesaan tuhan. Bangsa Arab yang terpecah-belah karena
solidaritasnya terbatas di lingkup suku-suku yang menjunjung tuhan masing-masing harus dipersatukan. Untuk itu, perlu
Tuhan bersama yang bisa menyatukan semua suku.
Prinsip kedua mewujud ke dalam ajaran-ajaran kepedulian sosial dan pembagian kesejahteraan untuk mengikis
kesenjangan dalam tatanan masyarakat. Perintah-perintah untuk zakat, shadaqah, membantu janda-janda miskin dan
anak yatim piatu, membebaskan budak, dan sebagainya, tiada lain merupakan upaya Muhammad untuk menumbuhkan
lembaga-lembaga yang berfungsi untuk mengurangi kesenjangan ekonomi dalam masyarakat di masa pertumbuhan
Mekkah sebagai kota transit dagang terpenting yang menghubungkan Asia (lewat Abessinia atau Hadramaut) dan Eropa
(melalui Syiria).
Prinsip ketiga mewujud dalam ajaran untuk membaca (iqra!). Muhammad menyadari bahwa peradaban dua negara
adidaya yang mengancam bangsa Arab dilandasi oleh kemampuan baca-tulis. Kemampuan ini merupakan landasan
Rumah Kiri
http://rumahkiri.net
_PDF_POWERED
_PDF_GENERATED 20 February, 2007, 02:18
untuk administrasi negara yang kelak akan didirikannya. Tanpa kemampuan baca-tulis memadai, bangsa Arab tidak
akan bisa menanggulangi kekuatan negara lain yang akan mencaploknya.
Sejarah ringkas di atas menunjukkan bahwa ajaran-ajaran Islam yang diyakini oleh muslim, pada mulanya merupakan
pantulan kesadaran atas kenyataan yang dihadapi bangsa Arab. Agama bukanlah sebuah paket ‘teori’
lengkap yang dijatuhkan dari langit sekali jadi. Agama merupakan hasil dialektika antara masyarakat dan kenyataan
yang dihadapi. Agama tiada lain perwujudan dari ‘diri masyarakat’ yang berproses menegasi-mengafirmasi
atas diri dan kenyataan yang dihadapi terus-menerus. Agama adalah produk sejarah manusia. Dalam versi yang lebih
mikro, kita bisa perhatikan ‘agama’ dari lapisan sosial yang berbeda. Dalam lapisan sosial berbeda,
agama menyuarakan sesuatu yang berbeda pula. Situasi kelas atau pengalaman individu dalam suatu masyarakat
merupakan kenyataan yang di situ ‘sentimen keagamaan’ memasuki proses negasi-afirmasi; penyesuaian
dengan lingkungan sehingga ajaran-ajaran agama besar apa pun dan di manapun akan mengalami percabangan dan
perpecahan. Karena agama tiada lain adalah hasil persatuan antara teori dan kenyataan yang menyejarah. Ketika
beberapa ajaran agama di suatu tempat dan waktu bersifat menindas atau diskriminatif, sebenarnya itulah kenyataan
tempat agama itu muncul dan menyejarah. Islam menjadi patriarkhat karena masyarakat Arab adalah masyarakat yang
patriarkhi. Ajaran-ajaran Islam banyak menggunakan istilah atau idiom dunia perdagangan, karena Islam muncul dalam
masyarakat kapitalis-perdagangan Mekkah.
Persoalannya kemudian adalah munculnya kepercayaan dogmatik bahwa agama adalah seperangkat paket teori siap
pakai yang diturunkan dari langit yang berlaku kapan pun di mana pun. Teori telah selesai. Penyatuan antara Rasio dan
kenyataan sudah sampai di akhir tujuan. Kenyataan harus disesuaikan dengan ‘teori’.
Kritik terhadap agama; tepatnya teologi, merupakan suatu dasar dari kritik berikutnya yang lebih mendasar, yaitu kritik
terhadap masyarakat tempat agama itu muncul, menyejarah, dan menjadi pandangan dunia bagi manusia yang
menganutnya; pandangan dunia yang melihat dunia secara terbalik. Kritik tidak boleh berhenti hanya sampai pada kritik
teori.
Penderitaan, kemiskinan, dan kesengsaraan yang dialami manusia-manusia individual dari kalangan tertindas
merupakan kenyataan yang harus diselesaikan di dunia ini sekarang melalui praxis atau akitivitas “kritik-
praktis”, bukan dengan melarikan diri ke langit menanti masa depan yang absurd bernama akhirat. Ketika
masyarakat cenderung melarikan diri ke langit dan tidak menyelesaikan persoalan yang dihadapinya, maka pada saat
itulah agama menjadi candu; menjadi obat penenang atau hiburan yang melenakan sehingga seolah-olah penderitaan
itu tidak ada. Karena itulah manusia terasing dari dirinya sendiri dan dari kenyataan yang dihadapinya sendiri. Manusia
menyerahkan haknya untuk memaknai kehidupannya kepada kekuatan di luar dirinya dan merasa cukup dengan
perbaikan-perbaikan ilusif atas kondisinya.
Dalam Uraian tentang Feuerbach, Marx mengajukan kritik ontologis terhadap kaum materialis yang menjadikan manusia
hanya sekadar ‘suatu objek’ permenungan. Feuerbach hanya menggeluti permasalah manusia abstrak
dan terjebak ke dalam pandangan a-historis tentang manusia. Di sinilah Marx kembali ke Hegel dan menolak Feuerbach.
Bagi Marx, manusia tiada lain adalah manusia yang menyejarah, manusia yang mengalami penderitaan nyata di dalam
suatu tatanan sosial yang berubah terus sepanjang sejarah. Feuerbach dianggap Marx hanya berupaya memahami
dunia abstrak saja tanpa tujuan mengubah sumber pemantulnya. Marx menyatukan theoria dan praxis ketika Feuerbach
dan Hegelian Muda lainnya hanya berkutat pada theoria tentang dunia.
II Dari pembahasan Marx atas Hegel dan Hegelian Muda, bisa dibayangkan beberapa hal. Pertama, Hegel telah
mengakui kesatuan subjek (Rasio) dengan objek (Sejarah) dalam wujud negara modern dan agama Kristen Jerman.
Kalau tidak salah, dalam buku Filsafat Sejarah, Hegel menempatkan negara modern dan agama Kristen Jerman
(Protestan) sebagai titik akhir perjalanan Rasio dalam mencapai penyatuan dengan dirinya sendiri melalui sejarah.
Kontradiksi telah terhapus dalam wilayah pemikiran. Bentuk-bentuk sosial dan politik sudah cukup sejalan dengan
prinsip-prinsip Rasio, sehingga potensi tertinggi manusia bisa dikembangkan melalui pengembangan bentuk sosial yang
telah ada. Kenyataan harus disesuaikan dengan teori.
Dari tesis Hegel tersebut, dapat dibayangkan bahwa kaum Hegelian Muda menyangkal. Bagi mereka, teori itu sendiri
belum selesai. Kesadaran (Rasio) belum sampai di titik akhir. ‘Agama’ adalah sebentuk teori (subjek) yang
menyejarah dan terus-menerus berdialektika dengan kenyataan (objek). Kajian David Strauss dan Feuerbach tentang
kekristenan secara historis bisa dibayangkan ditulis dalam rangka menolak telah selesainya penyatuan Subjek-Objek;
Rasio-Kenyataan. ‘Agama’ tidak hanya belum selesai, tetapi harus dikritisi. Tetapi, Hegelian Muda merasa
cukup puas dengan kritik atas ‘Agama’; terhadap teori atau kesadaran modern (yang diwakili filsafat
Hegel). Dari sinilah Marx memulai kritiknya terhadap rekan-rekan Hegelian Mudanya. Bagi Marx, sejarah atau tempat
bergulatnya rasio dan kenyataan, belumlah selesai. Alih-alih hanya mengkritik rasio modern, Marx juga mengajukan kritik
terhadap kenyataan yang menjadi objek dari rasio modern. Oleh karena itu, Marx mengembangkan lebih lanjut kritik
Feuerbach. Marx memulai kritik di tempat Feuerbach berhenti.
Wallahu ‘alam bishshawab
28/05/06
Rumah Kiri
http://rumahkiri.net
_PDF_POWERED
_PDF_GENERATED 20 February, 2007, 02:18
Feuerbach (1845)
Bahasan atas Kritik terhadap Filsafat Hukum Hegel (1844) dan Uraian-uraian Tentang Feuerbach (1845)
Oleh Karim al-Marqiy (Perhimpunan Muda) Marx menulis karya-karya pendek di atas dalam konteks kedudukan
kritisnya, baik terhadap Hegel maupun Feuerbach. Sejalan dengan Kaum Hegelian Muda, Marx tidak mentah-mentah
menerima dogma Hegel. Tapi, berlainan dengan mereka, Marx juga mengambil jarak dengan Feuerbach. Dari keduanya
Marx mengambil sesuatu, dan terhadap keduanya juga Marx mengajukan kritiknya. Tulisan pertama menurut saya
merupakan suatu simpul yang mengikat pemikiran Marx, baik dalam upaya kritisnya terhadap Hegel maupun terhadap
Feuerbach. Bahasan tentang ‘kritik agama’ di awal tulisan merujuk pada kritik-kritik Hegelian Muda
terhadap Kaum Hegelian yang lebih konservatif. Meski Marx mengakui bahwa kritik agama merupakan prasyarat semua
kritik, tetapi ia lebih melihatnya sebagai titik pijak awal untuk memulai kritik lebih lanjut.
Bahasan atas Kritik terhadap Filsafat Hukum Hegel (1844) dan Uraian-uraian Tentang Feuerbach (1845)
Oleh Karim al-Marqiy (Perhimpunan Muda) I Marx menulis karya-karya pendek di atas dalam konteks kedudukan
kritisnya, baik terhadap Hegel maupun Feuerbach. Sejalan dengan Kaum Hegelian Muda, Marx tidak mentah-mentah
menerima dogma Hegel. Tapi, berlainan dengan mereka, Marx juga mengambil jarak dengan Feuerbach. Dari keduanya
Marx mengambil sesuatu, dan terhadap keduanya juga Marx mengajukan kritiknya.
Tulisan pertama menurut saya merupakan suatu simpul yang mengikat pemikiran Marx, baik dalam upaya kritisnya
terhadap Hegel maupun terhadap Feuerbach. Bahasan tentang ‘kritik agama’ di awal tulisan merujuk pada
kritik-kritik Hegelian Muda terhadap Kaum Hegelian yang lebih konservatif. Meski Marx mengakui bahwa kritik agama
merupakan prasyarat semua kritik, tetapi ia lebih melihatnya sebagai titik pijak awal untuk memulai kritik lebih lanjut.
Subjek filsafat adalah manusia nyata yang menghadapi kehidupan nyata di sekitarnya. Kritik, sejatinya harus menyentuh
kehidupan nyata yang di situ manusia hidup. Agama (dalam hal ini baik merujuk agama Kristen Jerman maupun filsafat
spekulatif) tiada lain pantulan hasil pergulatan kesadaran manusia dengan dunia yang dihidupinya. Manusia merupakan
pelihat sekaligus penghuni dunia. Sebagai pelihat, manusia memberi nilai-nilai kepada dunianya. Persoalan yang
dihadapi dicarikan jawaban-jawabannya; diuraikan dasar-dasarnya. Agama tiada lain hasil permenungan manusia atas
kenyataan yang dihadapi. Dalam perkembangannya, agama menjadi seperangkat dogma sumber dari segala sumber
copy-paste yang dianggap sebagai sesuatu yang turun dari langit. Kecenderungan untuk memandang agama sebagai
sesuatu yang turun dari langit merupakan kecenderungan semua agama yang menyejarah atau menjadi bagian dari
pergulatan politik-ekonomi suatu masyarakat.
Islam sebagai seperangkat dogma agama, ajaran kemanusiaan, pandangan hidup, dan teori sosial bisa saya ambil
sebagai contoh. Islam merupakan hasil pergulatan bangsa Arab dengan kondisi kehidupannya pada waktu itu. Mekkah
merupakan kota transit terbesar sepanjang Jazirah Arabia yang menghubungkan jalur perdagangan Syiria dan Abessinia
dalam jaringan perdagangan global. Kemakmuran sebagian orang dan kemelaratan sebagian besar lainnya merupakan
kenyataan yang dihadapi Mekkah. Ketimpangan sosial merupakan tampilan tatanan masyarakatnya. Solidaritas
kesukuan (ashabiyyah) yang merupakan kekuatan pengikat tradisional masyarakat kesukuan Arab, digantikan oleh
solidaritas kelas. Oleh karenanya tidak heran bila Abu Jahal lebih dekat dengan Abu Sofyan, seorang kapitalis-dagang
Mekkah, daripada dengan Abu Thalib atau Abdullah saudara kandungnya sendiri yang miskin. Pengutuban kelas
menjadikan masyarakat Mekkah sebagai masyarakat yang rentan. Potensi konflik tinggi. Di luar Mekkah dan kota
dagang lainnya, bangsa Arab terpilah-pilah ke dalam kesatuan suku-suku yang bercerai-berai tanpa solidaritas tunggal.
Hal ini ditunjukkan oleh kenyataan bahwa setiap suku mempunyai tuhannya masing-masing sehingga, konon, setiap
bulan haji ada sekitar tiga ratusan berhala yang berbeda-beda di dalam Ka’bah. Sementara itu, dua kekuatan
politik besar pada saat itu, yaitu Imperium Bizantium dan Sasanid-Persia, mengancam di barat dan utara. Baik secara
politik maupun ekonomi, Jazirah Arabia merupakan tempat potensial yang pasti akan dikuasai oleh salah satu kekuatan
tersebut. Belum mulainya penaklukan terhadap Arabia karena keduanya masih terlibat perang yang menyita energi.
Sebagai bangsa yang belum mempunyai kesatuan politik setingkat negara, Arab merupakan bangsa yang berpotensi
untuk dicaplok salah satu dari dua negara adidaya. Pada saat itulah Muhammad, seorang kuli penuntun onta yang
berpandangan luas karena pergaulan dan pengalamannya memahami kenyataan masa depan potensial yang akan
dihadapi bangsanya: dijajah.
Muhammad menarik pelajaran dari hasil pengamatannya. Prinsip ajarannya meliputi tiga hal penting. Pertama, perlu
persatuan bangsa Arab dalam satu kesatuan politik dan ekonomi. Kedua, harus ada upaya mengikis kesenjangan sosial-
ekonomi yang berpotensi konflik dan memecah belah bangsa Arab. Ketiga, bangsa Arab harus mengembangkan
pranata-pranata penting untuk mewujudkan masyarakat negara di suatu hari nanti, terutama dasar peradaban: baca-
tulis. Prinsip pertama diwakili oleh ajaran tauhid atau pengesaan tuhan. Bangsa Arab yang terpecah-belah karena
solidaritasnya terbatas di lingkup suku-suku yang menjunjung tuhan masing-masing harus dipersatukan. Untuk itu, perlu
Tuhan bersama yang bisa menyatukan semua suku.
Prinsip kedua mewujud ke dalam ajaran-ajaran kepedulian sosial dan pembagian kesejahteraan untuk mengikis
kesenjangan dalam tatanan masyarakat. Perintah-perintah untuk zakat, shadaqah, membantu janda-janda miskin dan
anak yatim piatu, membebaskan budak, dan sebagainya, tiada lain merupakan upaya Muhammad untuk menumbuhkan
lembaga-lembaga yang berfungsi untuk mengurangi kesenjangan ekonomi dalam masyarakat di masa pertumbuhan
Mekkah sebagai kota transit dagang terpenting yang menghubungkan Asia (lewat Abessinia atau Hadramaut) dan Eropa
(melalui Syiria).
Prinsip ketiga mewujud dalam ajaran untuk membaca (iqra!). Muhammad menyadari bahwa peradaban dua negara
adidaya yang mengancam bangsa Arab dilandasi oleh kemampuan baca-tulis. Kemampuan ini merupakan landasan
Rumah Kiri
http://rumahkiri.net
_PDF_POWERED
_PDF_GENERATED 20 February, 2007, 02:18
untuk administrasi negara yang kelak akan didirikannya. Tanpa kemampuan baca-tulis memadai, bangsa Arab tidak
akan bisa menanggulangi kekuatan negara lain yang akan mencaploknya.
Sejarah ringkas di atas menunjukkan bahwa ajaran-ajaran Islam yang diyakini oleh muslim, pada mulanya merupakan
pantulan kesadaran atas kenyataan yang dihadapi bangsa Arab. Agama bukanlah sebuah paket ‘teori’
lengkap yang dijatuhkan dari langit sekali jadi. Agama merupakan hasil dialektika antara masyarakat dan kenyataan
yang dihadapi. Agama tiada lain perwujudan dari ‘diri masyarakat’ yang berproses menegasi-mengafirmasi
atas diri dan kenyataan yang dihadapi terus-menerus. Agama adalah produk sejarah manusia. Dalam versi yang lebih
mikro, kita bisa perhatikan ‘agama’ dari lapisan sosial yang berbeda. Dalam lapisan sosial berbeda,
agama menyuarakan sesuatu yang berbeda pula. Situasi kelas atau pengalaman individu dalam suatu masyarakat
merupakan kenyataan yang di situ ‘sentimen keagamaan’ memasuki proses negasi-afirmasi; penyesuaian
dengan lingkungan sehingga ajaran-ajaran agama besar apa pun dan di manapun akan mengalami percabangan dan
perpecahan. Karena agama tiada lain adalah hasil persatuan antara teori dan kenyataan yang menyejarah. Ketika
beberapa ajaran agama di suatu tempat dan waktu bersifat menindas atau diskriminatif, sebenarnya itulah kenyataan
tempat agama itu muncul dan menyejarah. Islam menjadi patriarkhat karena masyarakat Arab adalah masyarakat yang
patriarkhi. Ajaran-ajaran Islam banyak menggunakan istilah atau idiom dunia perdagangan, karena Islam muncul dalam
masyarakat kapitalis-perdagangan Mekkah.
Persoalannya kemudian adalah munculnya kepercayaan dogmatik bahwa agama adalah seperangkat paket teori siap
pakai yang diturunkan dari langit yang berlaku kapan pun di mana pun. Teori telah selesai. Penyatuan antara Rasio dan
kenyataan sudah sampai di akhir tujuan. Kenyataan harus disesuaikan dengan ‘teori’.
Kritik terhadap agama; tepatnya teologi, merupakan suatu dasar dari kritik berikutnya yang lebih mendasar, yaitu kritik
terhadap masyarakat tempat agama itu muncul, menyejarah, dan menjadi pandangan dunia bagi manusia yang
menganutnya; pandangan dunia yang melihat dunia secara terbalik. Kritik tidak boleh berhenti hanya sampai pada kritik
teori.
Penderitaan, kemiskinan, dan kesengsaraan yang dialami manusia-manusia individual dari kalangan tertindas
merupakan kenyataan yang harus diselesaikan di dunia ini sekarang melalui praxis atau akitivitas “kritik-
praktis”, bukan dengan melarikan diri ke langit menanti masa depan yang absurd bernama akhirat. Ketika
masyarakat cenderung melarikan diri ke langit dan tidak menyelesaikan persoalan yang dihadapinya, maka pada saat
itulah agama menjadi candu; menjadi obat penenang atau hiburan yang melenakan sehingga seolah-olah penderitaan
itu tidak ada. Karena itulah manusia terasing dari dirinya sendiri dan dari kenyataan yang dihadapinya sendiri. Manusia
menyerahkan haknya untuk memaknai kehidupannya kepada kekuatan di luar dirinya dan merasa cukup dengan
perbaikan-perbaikan ilusif atas kondisinya.
Dalam Uraian tentang Feuerbach, Marx mengajukan kritik ontologis terhadap kaum materialis yang menjadikan manusia
hanya sekadar ‘suatu objek’ permenungan. Feuerbach hanya menggeluti permasalah manusia abstrak
dan terjebak ke dalam pandangan a-historis tentang manusia. Di sinilah Marx kembali ke Hegel dan menolak Feuerbach.
Bagi Marx, manusia tiada lain adalah manusia yang menyejarah, manusia yang mengalami penderitaan nyata di dalam
suatu tatanan sosial yang berubah terus sepanjang sejarah. Feuerbach dianggap Marx hanya berupaya memahami
dunia abstrak saja tanpa tujuan mengubah sumber pemantulnya. Marx menyatukan theoria dan praxis ketika Feuerbach
dan Hegelian Muda lainnya hanya berkutat pada theoria tentang dunia.
II Dari pembahasan Marx atas Hegel dan Hegelian Muda, bisa dibayangkan beberapa hal. Pertama, Hegel telah
mengakui kesatuan subjek (Rasio) dengan objek (Sejarah) dalam wujud negara modern dan agama Kristen Jerman.
Kalau tidak salah, dalam buku Filsafat Sejarah, Hegel menempatkan negara modern dan agama Kristen Jerman
(Protestan) sebagai titik akhir perjalanan Rasio dalam mencapai penyatuan dengan dirinya sendiri melalui sejarah.
Kontradiksi telah terhapus dalam wilayah pemikiran. Bentuk-bentuk sosial dan politik sudah cukup sejalan dengan
prinsip-prinsip Rasio, sehingga potensi tertinggi manusia bisa dikembangkan melalui pengembangan bentuk sosial yang
telah ada. Kenyataan harus disesuaikan dengan teori.
Dari tesis Hegel tersebut, dapat dibayangkan bahwa kaum Hegelian Muda menyangkal. Bagi mereka, teori itu sendiri
belum selesai. Kesadaran (Rasio) belum sampai di titik akhir. ‘Agama’ adalah sebentuk teori (subjek) yang
menyejarah dan terus-menerus berdialektika dengan kenyataan (objek). Kajian David Strauss dan Feuerbach tentang
kekristenan secara historis bisa dibayangkan ditulis dalam rangka menolak telah selesainya penyatuan Subjek-Objek;
Rasio-Kenyataan. ‘Agama’ tidak hanya belum selesai, tetapi harus dikritisi. Tetapi, Hegelian Muda merasa
cukup puas dengan kritik atas ‘Agama’; terhadap teori atau kesadaran modern (yang diwakili filsafat
Hegel). Dari sinilah Marx memulai kritiknya terhadap rekan-rekan Hegelian Mudanya. Bagi Marx, sejarah atau tempat
bergulatnya rasio dan kenyataan, belumlah selesai. Alih-alih hanya mengkritik rasio modern, Marx juga mengajukan kritik
terhadap kenyataan yang menjadi objek dari rasio modern. Oleh karena itu, Marx mengembangkan lebih lanjut kritik
Feuerbach. Marx memulai kritik di tempat Feuerbach berhenti.
Wallahu ‘alam bishshawab
28/05/06
Rumah Kiri
http://rumahkiri.net
_PDF_POWERED
_PDF_GENERATED 20 February, 2007, 02:18