Loading ...
Global Do...
News & Politics
12
0
Try Now
Log In
Pricing
1 PEMBANGUNAN PERTANIAN DALAM KONTEKS AGROPOLITIK Oleh Dr. Hermanto Peneliti Kebijakan Pertanian pada BPTP Kep. Bangka Belitung Tanggal 21 Juni merupakan tanggal yang memiliki arti penting bagi sektor pertanian. Karena hari tersebut diperingati oleh segenap masyarakat pertanian sebagai Hari Krida Pertanian, yaitu hari ungkapan rasa bersyukur, berbangga hati, sekaligus mawas diri dan melakukan dharma bakti kepada masyarakat yang lainnya atas berbagai prestasi dan keberhasilan dalam melakukan kegiatan pertanian selama satu tahun. Di Hari Krida Pertanian tahun ini sudah sepatutnya kita melihat kembali secara objektif pembangunan pertanian dalam konteks agropolitik. Hal ini sangat penting karena posisi sektor pertanian saat ini nampaknya semakin komplek. Disatu pihak, kontribusi terhadap GDP semakin menurun, sedangkan dilain pihak sektor ini masih tetap diandalkan sebagai penetrasi utama penyediaan lapangan kerja. Selain itu, dalam perumusan kebijaksanaan makro, sektor pertanian nampak sering dikesampingkan. Fenomena ini terjadi karena masyarakat pertanian seringkali kurang tanggap terhadap dinamika agropolitik dalam upaya mencarikan alternatif pemecahan masalah atas berbagai perubahan yang terjadi dalam perekonomian nasional maupun global. Secara umum masyarakat pertanian mengenal politik, bahkan saban hari membaca ulasan media massa tentang politik, tetapi tak satu pun menyentuh agropolitik. Politik sepertinya hanya sebatas partai. Di badan legislatif pun, baik di tingkat pusat maupun daerah, agropolitik bukan menjadi fokus. Berbicara tentang pembangunan pertanian dalam konteks agropolitik tidak akan terlepas dari kebijakan pengaturan kekuasan politik pemerintah dalam sistem pertanian. Dalam agropolitik terdapat berbagai garis kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengatur pertanian baik fisik maupun pelakunya. Kebijakan tersebut meliputi segala aspek pertanian dari masalah air, lahan, tanaman, hewan, petani dan masyarakat desanya, baik yang bersifat normatif, seperti hukum, adat, maupun yang bersifat bisnis materialistik. Meskipun tidak sepenuhnya agropolitik berkaidah ilmu politik, tetapi sedikit banyaknya ada unsur seninya dalam merealisasikan pengaturan dalam pembangunan 2 pertanian. Apalagi dalih yang selalu dipegang dalam pembangunan pertanian adalah secara teknis memungkinkan, ekonomis prospektif, kalau tidak diterima (acceptable) bagi pelakunya, maka pengaturan itu tidak akan bisa efektif. Dengan kata lain agropolitiknya tidak jalan. Karena itu sesudah teknis dan ekonomis menjanjikan, masih diperlukan seni dalam pendekatannya kepada masyarakat sehingga pengaturan pembangunan pertanian bisa berjalan mulus. Oleh karena itu, kosentrasi pemikiran dalam hal agropolitik sudah sewajarnya menjadi garapan segenap unsur yang berada di bidang pertanian. Sebagaimana kita ketahui bahwa sejak pemerintah Orde Baru hingga saat ini, agropolitik yang dipegang teguh dalam pembangunan pertanian adalah “Padi Sentris”. Agar nasib petani padi sawah tidak terpuruk terlalu jauh, pemerintah memolakan sistem subsidi bagi petani. Subsidinya berupa keringanan dalam pengadaan sarana produksi sehingga petani bisa membeli pupuk, benih, pestisida dengan harga yang sebanding dengan harga jual produk gabahnya. Namun kebijakan ini dirasakan kemudian seperti mematok standar hidup petani, dan dirasakan menjadi kurang adil, karena harga-harga barang lain kebutuhan petani relatif tinggi dan bahkan tidak terjangkau oleh penghasilan petani. Disamping itu, implementasi kebijakan subsidi tersebut juga sering dihadapi dengan permasalahan teknis di lapangan, seperti terjadinya kelangkaan pupuk, benih palsu dan sebagainya. Meskipun agropilitik ““Padi Sentris” telah mengguras banyak anggaran termasuk social costnya yang cukup besar, namun Nilai tukar produk padi petani dirasakan terus merosot sehingga sangat ironis yang terjadi di negeri ini dengan potensi pertanian yang besar, namun sebagian besar dari petani banyak yang termasuk golongan miskin. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah kurang memberdayakan sektor pertanian secara keseluruhan. Apalagi dengan pengaruh globalisasi yang menganut kebebasan pasar (free market), agropolitik padi sentris demikian itu menjadi tidak menguntungkan petani padi akibatnya komoditi palawija dan komoditi lainnya kurang mendapat perhatian dan dorongan intensifikasi sehingga membanjirlah impor berbagai produk pertanian ke negeri ini dari negara-negara yang mengalami kelebihan produksi. 3 Selain itu, memposisikan beras sebagai komoditi strategis, politis kurang tepat, dan harus di ubah. “Mindset” demikian seperti bersifat menyerderhanakan aspek agropolitik. Sebab masalah perberasan dalam konteks ketahanan pangan nasional menyangkut sekaligus martabat petani dan masyarakat desa pada umumnya. Suatu kondisi yang memprihatinkan kalau posisi swasembada beras, justru tidak meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat pedesaan. Dengan demikian, sudah saatnya agropolitik yang berisikan kebijakan pembangunan pertanian saat ini perlu dikaji kembali sehingga pembangunan pertanian ke depan mampu menjadi sumber pertumbuhan baru bagi perekonomian Indonesia, khususnya dalam hal pencapaian sasaran : (1) mensejahterakan petani, (2) menyediakan pangan, (3) sebagai wahana pemerataan pembangunan untuk mengatasi kesenjangan pendapatan antar masyarakat maupun kesenjangan antar wilayah, (4) merupakan pasar input bagi pengembangan agroindustri, (5) menghasilkan devisa, (6) menyediakan lapangan pekerjaan, (7) peningkatan pendapatan nasional, dan (8) tetap mempertahankan kelestarian sumberdaya. 4