Konsep dan Pengaturan
Desentralisasi Fungsional dan Kawasan Khusus
dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah
Oleh: Prof. Dr. Eko Prasojo
Kerangka Teoritik dan Konseptual
Dalam teori dan praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah, pada dasarnya
dianut beberapa azas yaitu azas sentralisasi, dekonsentrasi, desentralisasi dan tugas
pembantuan. Corak pelaksanaan masing-masing azas tersebut berbeda-beda antara
satu negara dengan negara lainnya. Pada umumnya diterima sebagai kesepakatan
bahwa sentralisasi dan desentralisasi adalah suatu kontinuum, bukan dikotomis. Artinya,
dalam satu negara tidak mungkin dianut hanya azas sentralisasi saja untuk semua
urusan, sehingga tidak ada sedikitpun otonomi yang diberikan kepada pemerintahan
daerah untuk mengatur dan mengurus beberapa materie urusan. Demikian pula
sebaliknya, tidak mungkin dalam sebuah negara hanya semata-mata dianut azas
desentralisasi sehingga tidak ada kewenangan di tingkat pusat untuk mengatur dan
mengurus untuk satupun materie atau urusan pemerintahan.
Dalam penyelenggaraan azas desentralisasi, sejatinya secara teoritik dan
praktek dikenal dua macam desentralisasi yaitu desentralisasi teritorial dan
desentralisasi fungsional (Maksum, 2007; 44). Desentralisasi teritorial menghasilkan
Daerah Otonom (local self government) yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan
mengurus materie-materie urusan tertentu yang didelegasikan. Meskipun demikian
Daerah Otonom dan pelaksanaan kewenangan yang telah diberikan tidaklah sama
lepas dari pemerintah pusat. Selalu terdapat berbagai variasi hubungan baik dalam
organ, wilayah, personal dan jabatan-jabatan yang muncul antar azas penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Karena itulah dikenal berbagai konsep dan model hubungan
antara azas desentralisasi, dekonsentrasi, dan sentralisasi dalam teori dan praktek
penyelenggaraan daerah. Misalnya saja hubungan dalam matra wilayah antara daerah
otonom denga