Guratcipta
1 of 12
Seni Pertunjukan Indonesia Melintas Batas
Matthew Isaac Cohen; Alessandra Lopez Y. Royo; Laura Noszlopy
Terjemahan: Noor Cholis
Dimuat di: Indonesia And Malay World, Volume 35, Issue 101 Maret 2007, h. 1 – 7.
Pendahuluan
Edisi kali ini menyajikan semacam rangkaian tulisan historis tentang teater, tari,
dan musik dari Indonesia, sejak awal abad ke-20 hingga saat ini. Semua artikel
yang dimuat berkeyakinan bahwa abad lalu adalah periode perubahan besar
bagi seni pertunjukan modern maupun tradisional, yang turut mencuat bersama
kemajuan dalam komunikasi dan transportasi dan keterbukaan Indonesia bagi
kapitalisme multinasional.
Kendati Indonesia adalah negara bahari yang sangat tersohor dengan
jalur lalu lintas barang, ide dan manusia, seni pertunjukannya sering dianggap
statis. Seni pertunjukan umumnya dipandang mengakar di daerah atau pusat-
pusat produksi tertentu, terpatri dalam ikatan-ikatan tak tertembus genre dan
berbagai tatanan patronase tradisional, dikungkung oleh larangan-larangan
Guratcipta
2 of 12
tradisional dan penghormatan terhadap leluhur. Tradisionalisme semacam itu,
setidak-tidaknya untuk sebagian, adalah warisan kesarjanaan Belanda yang
cenderung melihat seni pertunjukan Indonesia dengan mengasumsikan
kepastian dan ketaatan penuh pada aturan-aturan yang tak bisa diganggu gugat.
Para penulis seperti Jaap Kunst, Jacob Kats, dan Th. B. van Lelyveld
menafsirkan musik, tari, serta teater Jawa dan Bali sebagai kesinambungan
masa lalu Indis kuno Indonesia barat. Serta merta mereka menggolongkan
persilangan dan pertunjukan modern sebagai penyimpangan dan kemerosotan.
Prasangka demikian juga dipegang dan diusung elite kolonial bumiputra, yang
pada gilirannya melembagakan wacana tentang pelestarian warisan yang terus
memunculkan kecemasan dan strategi-strategi untuk mencegah kemungkinan
kehilangan budaya.
Maka wajar belaka bila para seniman modern seperti Raden Mas Jodjana
(1895-1972) dianggap tidak autentik karena penafsira